BANTEN RAYA – Prosesi Pengukuhan Kapolda Banten Irjen Rudy Heriyanto sebagai guru besar Universitas Lampung berjalan dengan khidmat pada Sabtu (19/2).
Hadir dalam kesempatan itu, Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy, Danrem 064/Maulana Yusuf Brigjen TNI Yunianto, Ketua MUI Banten KH Tb Hamdi Ma’ani. Kemudian Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, Sekretaris Mahkamah Agung Hasbi Hasan, sejumlah anggota Komisi III dan Komisi VII DPR RI serta Komisioner Kompolnas Wahyu Rudanto.
Dalam orasi ilmiahnya, Kapolda mengatakan bahwa gagasannya berangkat dari tiga problematika awal tentang kebutuhan untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan terutama oleh Polri sebagai pelaksana tugas penyelidikan dan penyidikan.
Kapolda Banten menggunakan beragam teori dan konsep sebagai pisau analisisnya, yaitu Konsep Negara Hukum Kesejahteraan, Teori Hukum Pembangunan oleh Mochtar Kusumaatmaja, Konsep Das Sein dan Das Sollen, Teori Sistem Peradilan Pidana dan Teori Penegakan Hukum.
“Selain teori dan konsep tersebut, pengalaman berdinas selama 29 tahun yang dominan di fungsi penyidikan dengan penanganan ribuan kasus yang berbeda karakter antara satu kasus dengan kasus lainnya, menjadi modal besar bagi saya untuk menganalisa lebih tajam tentang peluang penyelesaian perkara di luar pengadilan bagi Polri,” kata Rudy.
Pelaksanaan penyelesian perkara di luar pengadilan atau restorative justice oleh Polri, kata dia, sesungguhnya memberikan banyak manfaat tidak hanya bagi masyarakat namun juga bagi institusi kepolisian. Keadilan restoratif tentu saja lebih memenuhi rasa keadilan masyararakat, hubungan silaturahim antar pihak berpekara tetap terpelihara, tergantikannya kerugian pihak korban dalam pemberian kompensasi, juga dapat mengurangi beban pengeluaran negara untuk menangani setiap kasus yang dilaporkan.
Kapolda melihat perkembangan operasionalisasi keadilan restoratif di posisi awal dianggap sebagai dilema, berisiko mendapat teguran dari atasan dan APH lainnya jika menghentikan penyidikan, atau dapat mengecewakan masyarakat jika perkara dilanjutkan ke penuntut umum. Mediasi kepolisian sesungguhnya dapat menghadirkan keseimbangan peran polisi sebagai penyedia jasa penegakan hukum dan sebagai pengawas masyarakat, menyelesaikan masalah sosial dan hukum dengan memberdayakan kemitraan (partnership) dan problem solving.
“Mediasi kepolisian sesungguhnya menjadi kewajiban umum kepolisian atau plichtmatigheids beginsel dalam Pasal 18 ayat 2 UU Kepolisian, yaitu azas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri dalam rangka menjaga, memelihara, dan menjamin keamanan umum. Secara praktis, mediasi kepolisian juga telah diatur dalam Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, sehingga penting bagi personel untuk menjadi terampil memainkan peran mediasi,” jelas Rudy.
Selain pemikiran smart tentang mediasi kepolisian, Kapolda Banten juga mempelopori ide tentang online dispute resolution atau ODR, sebuah konsep keadailan digital yang adaptif dengan perkembangan teknologi informasi menuju Police 4.0. Teknologi dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan di luar pengadilan dan ke depan ODR dapat berkembang menjadi mekanisme yang paling efisien dalam ADR, selain karena dapat mengurangi hambatan akses, juga dapat meningkatkan efektivitas para pihak termasuk APH. Secara bertahap, teknologi telah mengubah pendekatan hukum termasuk berkontribusi dalam cara penyelesaian suatu sengketa hukum. (*/darjat)