SERANG, BANTEN RAYA- Pengelolaan parkir di tepi jalan umum di Kota Serang masih menyisakan sejumlah persoalan. Selain tentang pendapatan parkir yang tidak pernah mencapai target, juga ada tumpang tindih antara pengelolaan parkir di tepi jalan umum dan pajak parkir yang melibatkan dua OPD.
Ketua Komisi III DPRD Kota Serang Tubagus Ridwan Akhmad mengungkapkan, retribusi parkir tepi jalan di Kota Serang tidak pernah melampaui target. Target retribusi parkir tepi jalan umum dibebankan pada Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Serang selaku dinas terkait. Sayangnya, dari tahun ke tahun target retribusi ini tidak pernah tercapai. Ada dugaan terjadi kebocoran pada sektor parkir.
Apa yang disampaikan Ridwan, sejalan dengan data yang didapatkan Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Banten. Setiap tahun, target realisasi retribusi parkir tepi jalan umum di Kota Serang rata-rata tidak pernah tercapai. Data target dan realisasi retribusi parkir tepi jalan umum 3 tahun terakhir menunjukkan capaian pendapatan retribusi jeblok.
Tahun 2018, retribusi parkir tepi jalan umum ditarget mencapai Rp1,3 miliar lebih namun yang terealisasi hanya Rp410 juta. Tahun 2019, retribusi parkir tepi jalan umum ditarget mencapai Rp1,3 miliar, namun yang terealisasi hanya Rp529 juta lebih.
Pada tahun 2020, capaian retribusi parkir tepi jalan umum sempat melebihi target yaitu mencapai Rp559 juta. Keberhasilan ini karena target retribusi parkir tepi jalan umum diturunkan menjadi Rp500 juta. Namun, ketika target retribusi parkir tepi jalan umum kembali dinaikkan pada tahun 2021 menjadi Rp1,2 miliar, realisasinya kembali tidak tercapai karena hanya mencapai Rp897 juta lebih.
Kebocoran retribusi parkir diduga karena rantai setoran retribusi yang berjenjang cukup panjang. Uang parkir yang didapatkan juru parkir di lapangan akan disetorkan kepada koordinator. Dari koordinator, uang akan ditransfer ke kas daerah.
Bila rantai ini bisa diperpendek, sesungguhnya pendapatan parkir dari juru parkir bisa langsung disetorkan ke kas daerah. Namun, koordinator biasanya tidak hanya berfungsi sebagai “pengepul” uang parkir, melainkan juga sebagai pengaman wilayah tersebut. Sebab bila terjadi keributan, maka koordinator yang akan diminta menyelesaikan masalah tersebut. Karena itu, ada salah satu syarat yang harus dimiliki setiap koordinator parkir: bisa berkelahi.
Kebocoran retribusi parkir sesungguhnya dapat dicegah dengan penggunaan karcis resmi yang dikeluarkan oleh BPKAD Kota Serang. Bila menggunakan karcis ini, maka jumlah karcis yang dikeluarkan pasti sama dengan jumlah retribusi atau uang yang masuk ke kas daerah.
Tb Ridwan Akhmad bahkan memiliki ide yang lebih maju. Kata dia, retribusi parkir bisa tidak terjadi kebocoran bila mekanisme pembayaran parkir menggunakan uang elektronik. Namun ketika digulirkan, idenya rupanya belum benar-benar ditanggapi dengan serius oleh Pemerintah Kota Serang.
Penyebab lain kebocoran retribusi parkir adalah tidak tegasnya Dinas Perhubungan Kota Serang mewajibkan setiap juru parkir memberikan karcis parkir kepada konsumen. Tidak ada pengawasan serius tentang ini. Karena itu, kerap dijumpai usai membayar uang parkir, warga tidak mendapatkan karcis parkir.
Padahal, dengan menggunakan karcis, maka jumlah kendaraan yang parkir dan jumlah uang yang didapatkan dari parkir akan bisa diketahui. Nyatanya, selama ini banyak juru parkir yang tidak mengeluarkan karcis parkir. Di sini lah kebocoran lain dari parkir terjadi. Anehnya, Dinas Perhubungan Kota Serang meski mengetahui fakta ini seolah membiarkan.
Salah satu koordinator parkir berinisial H mengatakan, sebenarnya dia memberikan karcis parkir kepada para juru pakir. Namun memang di lapangan, para juru parkir lebih banyak tidak memberikan karcis kepada konsumen.
Dia pun tidak mempermasalahkan karena yang terpenting adalah 5 orang juru parkir yang dia bina tetap setor kepadanya. Anehnya, para juru parkir mengaku uang hasil parkir selalu habis untuk makan dan rokok. Mereka juga mengaku kerap dimintai jatah oleh oknum pegawai kelurahan, aparat penegak hukum, hingga LSM.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Serang Heri Hadi saat dikonfirmasi mengatakan, setiap juru parkir dibekali dengan karcis parkir. Karcis itu harus diserahkan kepada konsumen setiap kali mereka membayar. Karena itu, dia meminta masyarakat untuk meminta karcis parkir setiap kali parkir, agar ada bukti.
Heri sesungguhnya mengetahui carut-marut pengelolaan parkir karena kompleksitasnya masalah. Namun, selama juru parkir dan koordinator parkir menyetorkan uang parkir sesuai dengan target, maka menurutnya masalah lain bisa dikesampingkan.
Heri menyatakan, juru parkir yang ada di Kota Serang tidak digaji dari uang APBD Kota Serang. Mereka hanya dibekali target per bulan yang disesuaikan dengan potensi titik parkir yang mereka kelola. Bila ada kelebihan uang dari parkir yang didapatkan oleh para juru parkir, maka dinas akan tutup mata dan dianggap sebagai uang jasa bagi para juru parkir.
“Selebihnya (bila ada uang lebih dari pendapatan parkir) anggap jasa dari mereka,” katanya.
Heri mengatakan, ada sejumlah pertimbangan mengapa para juru parkir tidak digaji menggunakan APBD Kota Serang. Pertama, dinas tidak perlu repot menganggarkan, karena ada kemungkinan anggaran akan tidak disetujui sehingga akan timbul masalah. Kedua, dengan tidak perlu repot menganggarkan, namun para juru parkir tetap menghasilkan uang sebagai pendapatan asli daerah, maka Pemerintah Kota Serang seperti mendapatkan uang dengan tanpa bersusah payah. “Kalau digaji juga satu orang Rp1 juta belum tentu mau,” katanya.
Heri juga mengungkapkan, karena setoran uang parkir dari koordinator parkir langsung ke rekening kas daerah, maka Dinas Perhubungan Kota Serang tidak memiliki kesempatan memotong uang parkir. Hal ini berbeda dari pembayaran yang sebelumnya diserahkan terlebih dahulu ke dinas perhubungan.“Semua pembayaran parkir disetorkan ke kas, ke rekening. Tidak ada uang yang transit di sini,” katanya.
Kepala UPT Parkir pada Dinas Perhubungan Kota Serang Umar Hamdan mengatakan, dia tidak pernah membatasi siapa pun menjadi koordinator parkir. Mereka yang mau mengelola dan siap menyetorkan uang sesuai dengan target, akan dengan mudah dia angkat sebagai koordinator parkir. Saat ini, sejumlah koordinator dipegang oleh sejumlah orang dengan berbagai profesi, mulai dari pendekar sampai dengan wartawan.
Selain menekankan mampu mencapai target, persyaratan lain adalah dia harus bisa mengamankan daerah yang dikelolanya. Sebab, lahan parkir adalah lahan yang rawan terjadi konflik.
Dia mengatakan, sebelumnya, parkir diserahkan pengelolaannya kepada pihak ketiga namun bermasalah dari sisi setoran. Karena itu, dia memutuskan agar setoran dari parkir disetorkan langsung ke rekening kas daerah melalui transfer bank oleh setiap koordinator parkir.
Hamdan membebaskan setiap koordinator parkir menyetorkan uang parkir kapan pun. Yang penting, mereka menyetorkan uang parkir sesuai dengan target yang sudah ditetapkan oleh Dinas Perhubungan Kota Serang. “Ada yang setor seminggu sekali, dua minggu sekali, ada juga yang setiap bulan,” katanya.
Umar mengatakan, Dinas Perhubungan Kota Serang tidak menerima setoran uang parkir seperti yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Dinas Perhubungan Kota Serang hanya menerima bukti setoran yang disetorkan oleh setiap koordinator parkir.
TUMPANG TINDIH PENGELOLAAN
Selain persoalan dugaan kebocoran retribusi parkir tepi jalan umum, masalah parkir juga adanya tumpang tindih antara kewenangan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Serang dengan Dinas Perhubungan Kota Serang dalam mengelola parkir.
Salah satu lokasi parkir di Jalan Diponegoro, Kota Serang, diduga ada lahan parkir yang tidak hanya dipungut oleh Bapenda Kota Serang melainkan juga oleh Dinas Perhubungan Kota Serang.
Padahal, baik Dinas Perhubungan maupun Bapenda memiliki regulasi yang berbeda dalam mengelola parkir. Dinas Perhubungan menarik retribusi dari parkir di tepi jalan umum sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah. Sedangkan Bapenda memungut pajak parkir berdasarkan Perda Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah.
Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah Pasal 3 ayat 1 tentang jenis retribusi jasa umum pada huruf e disebutkan, bahwa salah satu retribusi yang dikelola oleh Pemerintah Kota Serang adalah retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum. Inilah yang dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Serang.
Sementara pada Pasal 2 Perda Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah menyebutkan, salah satu jenis pajak daerah yang ada di Kota Serang adalah pajak parkir. Pasal 39 menjelaskan apa itu pajak parkir, yaitu objek pajak parkir adalah penyelenggaraan tepat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Inilah yang dikelola oleh Bapenda Kota Serang.
Kepala Sub Bidang Pajak Parkir dan Hiburan pada Bapenda Kota Serang Rizki Ikhwani mengatakan, pihaknya hanya mengelola pajak parkir yang objek pajaknya berbeda dengan parkir di tepi jalan. Bahkan dia menegaskan, parkir di tepi jalan tidak dikenai pajak parkir. Dia mengungkapkan, saat ini ada 90 objek pajak parkir di Kota Serang yang sudah ditetapkan dalam Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD).
Rizki mengatakan, setiap lokasi parkir yang sudah dikenai pajak parkir, maka biaya parkir konsumen telah dibayarkan oleh pengelola parkir atau manajemen parkir tersebut. Sehingga, seharusnya konsumen tidak lagi harus membayar uang parkir. “Seharusnya pelanggan tidak perlu membayar parkir ke jukir yang disediakan dishub,” kata Rizki.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Kota Serang Heri Hadi membantah bila dia menempatkan juru parkir untuk mengelola parkir yang pajaknya sudah diambil oleh Bapenda Kota Serang. Menurutnya, Dinas Perhubungan Kota Serang hanya menempatkan personel juru parkir di lokasi parkir tepi jalan umum, yang bukan merupakan objek wajib pajak parkir. (tohir)