Memiliki harta yang cukup bukanlah jaminan untuk dapat memanfaatkannya dengan bebas dan tenang. Harta dan penghasilan untuk memperoleh harta, apakah telah dilaporkan dalam SPT Tahunan, merupakan salah satu sebabnya. Harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan dianggap sebagai penghasilan yang belum ditunaikan pajaknya. Pajak yang terlambat dibayar terdapat sanksi bunga yang lumayan besar.
Program Pengungkapan Sukarela
Program Pengungkapan Sukarela (PPS) hadir untuk memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak melaporkan harta tanpa dikenai tambahan sanksi bunga. Harta yang belum diungkap dianggap sebagai penghasilan dan dikenai pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final dengan tarif tertentu.
PPS diatur dalam Undang-Undang nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Diperjelas dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Waijib Pajak. Waktu pelaksanaan PPS dibatasi dari 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022.
PPS terbagi dalam dua kebijakan. Kebijakan I diperuntukkan bagi wajib pajak yang dahulu pernah ikut program pengampuan pajak atau Tax Amnesty (TA), namun masih ada harta perolehan sebelum 1 Januari 2016 yang belum diungkap. Kebijakan IIuntuk wajib pajak Orang Pribadi yang belum melaporkan seluruh hartanya dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2016 sampai dengan 2020.
Terdapat tiga macam tarif pajak penghasilan bersifat final atas nilai harta yang belum diungkap di masing-masing kebijakan. Tarif dalam kebijakan I terdiri dari 11%, 8% dan 6%. Tarif 11% untuk pengungkapan harta yg berada di luar negeri. Tarif 8% untuk pengungkapan harta dalam negeri dan harta luar negeri yang akan dibawa ke dalam negeri. Serta tarif 6% atas pengungkapan harta luar negeri yang diinvestasikan di dalam negeri pada usaha pengolahan sumber daya alam atau sumber energi terbarukan dan surat berharga negara.
Tarif dalam kebijakan II terdiri dari 18%, 14% dan 12%. Tarif 18% untuk pengungkapan harta yg berada di luar negeri. Tarif 14% untuk pengungkapan harta dalam negeri dan harta luar negeri yang akan dibawa ke dalam negeri. Serta tarif 6% atas pengungkapan harta luar negeri yang diinvestasikan di dalam negeri pada usaha pengolahan sumber daya alam atau sumber energi terbarukan dan surat berharga negara.
Sebagai gambaran, perhitungan pajak PPS atas pengungkapan harta berupa Rumah dibeli tahun 2019 seharga Rp600.000.000,00 secara tunai adalah14% x Rp600.000.000,00 = Rp84.000.000,00.
Pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan tidak hanya untuk melaporkan penghasilan dan pajak. SPT Tahunan juga menginformasikan data harta yang dimiliki dan kewajiban yang masih menjadi tanggungan wajib pajak. Menurut Pasal 3 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) terdapat kewajiban mengisi SPT dengan benar, lengkap dan jelas.
Apabila dirasa ada kesalahan dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum melakukan pemeriksaan, wajib pajak dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan. Ketentuan ini tertuamh dalam Undang-Undang KUP Pasal 8. Konsekuensi dari pembetulan SPT Tahunan apabila pajak terutang menjadi lebih besar adalah dikenai sanksi bunga administrasi.
Tarif Pajak Orang Pribadi dan Sanksi Pembetulan SPT
Menurut Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan, tarif pajak orang pribadi yang berlaku sebelum tahun pajak 2022 adalah tarif progresif dengan 4 lapis. Lapis pertama sebesar 5%, untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp50.000.000,00. Tarif 15% untuk penghasilan kena pajak diatas Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp200.000.000,00. Dilanjut 25% untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp500.000.000,00 dan terakhir tarif 30% untuk penghasilan kena pajak diatas Rp500.000.000,00.
Sebagai gambaran, penghasilan kena pajak Rp600.000.000,00 terkena 4 lapis tarif pajak. Hitungan pajaknya adalah (5% x Rp50.000.000,00) + (15% x Rp200.000.000) + (25% x Rp250.000.000,00) + (30% x Rp100.000.000,00) = Rp125.000.000,00.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 yang diperbaruhi dengan PP Nomor 23 Tahun 2018, terdapat pilihan lain dalam menghitung pajak penghasilan bagi orang pribadi usahawan. Usahawan dengan peredaran bruto setahun tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dapat menggunakan tarif pajak penghasilan sebesar 1% dan 0,5% dari penghasilan bruto. Tarif 1% untuk masa pajak Juli 2013 sampai dengan Juni 2018, dan 0,5% digunakan mulai masa Juli 2018. Usahawan disini seringkali disebut pelaku usaha mikro kecil dan menengah atau UMKM.
Contoh perhitungan pajak penghasilan atas UMKM Tahun Pajak 2019 dengan peredaran bruto Rp3.000.000.000,00 adalah 0,5% x Rp3.000.000.000,00 = Rp15.000.000,00.
Denda bunga terlambat bayar pajak setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja adalah ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Setiap bulanMenteri Keuangan mengeluarkan keputusan tarif sanksi bunga, sebesar tarif suku bunga acuan ditambah 5% dan dibagi 12. Sebelumnya, tarif bunga terlambat bayar adalah 2% per bulan. Bunga dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, paling lama 24 bulan.
Khusus masa pajak sebelum berlakunya UU Cipta Kerja, tarif bunga terlambat bayar menggunakan tarif saat UU Cipta Kerja berlaku atau tanggal 2 November 2020. Sebagaimana Keputusan Menteri Keuangan nomor 540/KMK.010/2020 tarif bunga terlambat bayar pajak yang berlaku untuk bulan November 2020 adalah 0,99%.
Sebagai gambaran, hitungan besarnya sanksi bunga untuk Wajib Pajak yang akan membetulan SPT Tahunan 2019 dengan tambahan pajak sebesar Rp120.000.000,00 dan dibayar tanggal 10 Juni 2022 adalah 0,99% x Rp120.000.000,00 x 24 =Rp28.512.000,00.
Pilih Ikut PPS atau Pembetulan SPT Tahunan
Mengikuti Program Pengungkapan Sukarela atau melakukan pembetulan SPT Tahunan untuk melaporkan harta yang belum terlapor adalah sama-sama ada payung hukumnya. Namun keduanya juga ada konsekuensinya. Salah satu konsekuensi yang pasti adalah tambahan pembayaran pajak.
Bagi peserta Tax Amnesty jika masih terdapat harta perolehan sebelum 1 Januari 2016 yang belum diungkap, perlu dipertimbangkan untuk ikut PPS kebijakan I. Tambahan pajak yang dibayar sangat lebih kecil dibandingkan jika harta tersebut ditemukan oleh DJP karena adanya tambahan sanksi 200%.
Untuk yang belum melaporkan harta perolehantahun 2016 sampai dengan 2020, pilihan sangat dipengaruhi oleh kondisi SPT Tahunan yang telah dilaporkan dan sumber penghasilan memperoleh harta.
Pembetulan SPT dapat jadi pilihan untuk tiga kondisi wajib pajak. Pertama jika harta diperoleh dari penghasilan yang tidak termasuk obyek pajak, seperti warisan dan hibah. Kedua jika seluruh penghasilan telah dilaporkan dan nilainya lebih besar dari tambahan harta, hanya lalai tidak mengisi harta secara benar. Ketiga, bagi usahawan yang termasuk kriteria PP 23 Tahun 2018 atau UMKM, pembetulan SPT Tahunan juga dapat dipertimbangkan untuk dipilih karena pajak yang terutang akan lebih kecil walau ditambah sanksi bunganya.
Pembetulan SPT sebaiknya dari Tahun Pajak 2016, karena harta dalam SPT Tahunan 2016 secara berkesinambungan dilaporkan dalam SPT Tahunan 2017 dan tahun berikutnya. Serta adanya ketentuan, DJP dapat melakukan pemeriksaan atas suatu SPT Tahunan dalam waktu sampai 5 tahun sejak berakhirnya tahun pajak. SPT Tahunan 2017 masih dapat diperiksa sampai dengan akhir tahun 2022.
Selain tiga kondisi diatas, mengikuti Program Pengungkapan Sukarela sepertinya lebih menguntungkan jika dipilih. Dari tarif pajak lebih kecil, tanpa ditambah sanksi bunga, administrasi yang lebih sederhana dan kenyamanan jaminan tidak diperiksa merupakan keuntungkan jika mengikuti PPS.
Pilihan dikembalikan ke Wajib Pajak, karena dialah pemilik tanggung jawab, penerima keuntungan atau konsekuensi dari yang dilakukan. Penting jadi pembelajaran adalah pelaporan SPT Tahunan harus lengkap, benar dan tepat waktu. SPT Tahunan tidak hanya melaporkan pajak dan penghasilan namun harta dan kewajiban juga harus diinformasikan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Penulis adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak