BANTENRAYA.CO.ID – Kasus dugaan korupsi pembangunan Pabrik Blast Furnace Complex tahun 2011 yang tengah dipersidangkan di Pengadilan Tipikor Negeri Serang, disebut bukan kejahatan melainkan resiko bisnis.
Hal itu diungkapkan mantan karyawan PT KS yang enggan menyebutkan identitasnya. Pria berusia 60 tahun itu mengaku telah bekerja sekitar 30 tahun di PT KS, ini tau persis awal mula pembangunan Pabrik Blast Furnace Complex, dan mengikuti jalannya persidangan di Pengadilan Tipikor Negeri Serang.
Dia mengatakan, pembangunan Blast Furnace Complex tercetus pada tahun 2008 silam dan baru mulai dieksekusi pada tahun 2012 lalu. Dimana, gagasan awal untuk membangun Blast Furnace tersebut adalah agar PT KS dapat menjadi Industri Baja yang yang memenuhi standar.
“Dengan adanya Blast Furnace PT KS bisa menguasai tiga bidang, yaitu Iron Making (Pabrik Pembuatan Besi Murni), Steel Making (Pabrik Pembuatan Bahan Baku Baja) dan Rolling Mill (Pabrik Rolling Pembuat Produk Baja),” katanya dalam keterangan resmi yang diperoleh Banten Raya, Minggu 9 Juli 2023.
Dia menjelaskan adapun cita-cita dari pembangunan Blast Furnace, PT KS bisa menguasai pabrik baja mulai dari hulu hingga hilir.
“Saat ini kita kita ada di hilir, bahan baku kita punya, lalu pabrik pengolahan bahan baku (Iron Making) menggunakan Blast Furnace berjalan. Jika seperti ini dari hulu sampai hilir kita punya semua,” jelasnya.
Bahkan, dia mengungkapkan jika Blast Furnace berjalan, maka PT KS tinggal mengikuti kebutuhan pasar.
“Untuk pembuatan bahan baku bajanya kita tinggal formulasikan sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pasar, misal Baja Reguler atau Baja Spesial. Dan untuk memproduksi itu semua, bahan baku yang diperlukan ada di negara kita,” ungkapnya.
Kembali pada persoalan pembangunan Blast Furnace, Dia menerangkan pembangunan Blast Furnace Complex memakan waktu sekitar 7 tahun. Lambatnya pembangunan itu lantaran adanya faktor yang menghambat.
“Sejumlah faktor yang kerap menjadi kendala pada saat proses pembangunan Blast Furnace Complex milik PT KS, sehingga pembangunan proyek tersebut mengalami keterlambatan, baik kendala di lapangan, maupun kendala yang lain,” terangnya.
Dia menambahkan akibat kendala-kendala tersebut, terjadi over cost run, atau penambahan biaya yang muncul diluar biaya yang sudah diperhitungkan.
“Pada saat itu juga situasi keuangan PT KS yang kurang baik, ditambah dengan harga baja yang merosot pada waktu itu, membuat konsorsium Bank Asing yang akan memberikan pinjaman memilih mundur,” tambahnya.
Akibatnya, dia mengatakan untuk menyelesaikan pembangunan tersebut PT KS mencari pengganti sumber pendanaan di dalam negeri melalui Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA).
“Lalu lambannya kita dalam mengambil suatu keputusan, sehingga seringkali proyek dihentikan menunggu kajian dan keputusan. Jadi terlihat seperti mangkrak atau terabaikan, walaupun begitu, gaji para pekerja proyek tersebut tetap harus dibayarkan. Itu salah satu contoh timbulnya over cost run pada proyek ini,” katanya.
Selain itu, dia mengungkapkan penyelesaian proyek pembangunan Blast Furnace Complex, dan pengoperasiannya terjadi di momen yang kurang tepat. Sehingga hal tersebut hanya terlihat sebagai pemborosan atau inefisiensi.
“Bukannya boros, atau membuat rugi negara. Karena beberapa faktor yang tidak bisa terprediksi akhirnya terjadi over cost. Karena ada sebabnya bukan disengaja,” ungkapnya.
Bahkan dia menganggap pembangun Blast Furnace bukan sebuah kejahatan yang dianggap merugikan keuangan negara. Apalagi pabrik tersebut belum beroperasi.
“Kalau dianggap merugikan negara juga sepertinya tidak. Baru juga beroperasional sudah di stop. Jadi kita belum bisa pastikan ini rugi, lagipula kan pabriknya memang ada dan terbangun,” tandasnya.
Baca Juga : Krakatau Steel Suplai 1.550 MT pelat baja untuk Istana Kepresidenan IKN
Dirinya meyakini jika Blast Furnace Complex kembali beroperasi, PT KS akan memperoleh keuntungan yang besar. Sebab, 50 persen kebutuhan baja nasional masih di penuhi melalui jalur import.
“Sangat perlu (Blast Furnace-red), entah kapan akan dioperasikan kembali. Namun pastinya akan menambah cost perusahaan, namun Ketika sudah berjalan dengan formulasi yang tepat. KS akan untung besar,” terangnya.
Dia menambahkan jika aparat penegak hukum (APH) melihat kasus ini dari sudut pandang lain, maka perkara itu tidak masuk kasus kejahatan, melainkan resiko bisnis.
“Jadi menurut saya, masalah yang muncul saat ini bukan lah tindak kejahatan. Mungkin ada kesalahan yang mereka lakukan tapi bukan disengaja. Ini Hanya berbeda sudut pandangnya saja mungkin karena mereka melihat itu dan menyamakan dengan situasi dan kondisi saat ini. Jadi pasti berbeda gak akan sama situasi dan kondisinya,” tegasnya.
Bahkan, dia meyakini majelis hakim akan menilai beberapa pertimbangan dalam perkara tersebut, apabila pengadilan melihat kasus itu dari sudut pandang pertimbangan bisnis pada saat itu.
“Nanti kita akan lihat putusan yang diberikan oleh hakim kepada para terdakwa. Saya yakin majelis hakim yang terhormat dapat menilai sendiri berdasarkan bukti, keterangan saksi, saksi ahli, dan fakta persidangan lainnya, sebagai bahan pertimbangan majelis terhormat dalam memberikan putusan,” tandasnya.
Diketahui sebelumnya, Eks Direktur Utama dan petinggi PT Krakatau Steel dituntut masing-masing 6 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung dalam sidang di Pengadilan Tipikor Negeri Serang, Rabu 21 Juni 2023 malam.
Kelimanya merupakan terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Pabrik Blast Furnace Complex tahun 2011, yang menyebabkan kerugian negara Rp6,9 triliun.
Kelimanya yaitu Direktur Utama PT Krakatau Steel Periode 2007-2012 Fazwar Bujang. Andi Soko Setiabudi selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering Periode 2005-2010 dan Deputi Direktur Proyek Strategis 2010-2015.
Bambang Purnomo selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2012-2015. Hernanto Wiryomijoyo selaku Ketua Tim Persiapan dan Implementasi Proyek Blast Furnace tahun 2011.
Muhammad Reza selaku General Manager Proyek PT Krakatau Steel dari Juli 2013-Agustus 2019, sekaligus juga Project Manager PT Krakatau Engineering Periode 2013-2016. ***