Melihat Godam Denok Penempa Golok Ciomas, Pusaka Pemberian Sultan Banten yang Masih Lestari

Godam Denok Golok Ciomas
Ki Duhari (54 tahun) memperlihatkan Godam Denok, penempa Golok Ciomas.(Muhamad Tohir/ Bantenraya.co.id)

BANTENRAYA.CO.ID – Nama Golok Ciomas dari Banten yang terkenal sakti tak bisa dilepaskan dari palu besar atau godam yang dinamai dengan Godam Denok.

Kesaktian Golok Ciomas tidak akan paripurna bila belum mendapatkan sentuhan dari Godam Denok.

Kini, Godam Denok disimpan oleh pembuat Golok Ciomas bernama Ki Duhari yang merupakan keturunan ketujuh dari pembuat pertama Golok Ciomas.

BACA JUGA: Kapolda Dorong Golok Banten Terdaftar di UNESCO

Tangan Ki Duhari (54 tahun) sigap membuka sebuah kotak kayu yang ada di hadapannya. Ketika penutup kotak kayu itu terbuka, tampak kain putih membungkus sesuatu ada di dalam kotak.

Seketika aroma harum minyak wangi menyeruak memenuhi ruangan yang lebih mirip kamar itu.

Ki Duhari perlahan menyingkap kain putih secara perlahan. Lalu tampak sebuah benda besi dalam genggamannya berbentuk palu.

Itulah Godam Denok atau Godam Si Denok, yang konon dahulu dipakai untuk membuat Golok Ciomas pertama.

BACA JUGA: Golok Day Reborn 2022 , Al Muktabar dan Helldy Acungkan Golok

Godam Demok adalah pusaka yang diwariskan secara turun-temurun kepada anak lelaki yang dinilai mampu meneruskan pembuatan Golok Ciomas.

Godam Denok pertama kali digunakan oleh Ki Cengkuk.

Menurut cerita lisan masyarakat, Godam Denok adalah hadiah dari Sultan Banten untuk Ki Cengkuk untuk membuat senjata golok.

Kini, Godam Denok dirawat oleh Ki Duhari, yang merupakan keturunan ketujuh dari Ki Cengkuk.

Ki Duhari adalah juru kunci dan pewaris Godam Denok.

BACA JUGA: Delapan Tempat Wisata di Kabupaten Serang yang Bisa Dikunjungi Selain Pantai Anyer-Cinangka, Dijamin Pasti Menyenangkan

“Saya mulai megang Godam Denok tahun 2015,” kata Ki Duhari di Padepokan Godam Denok yang berada di Kampung Cihujan, Desa Lebak, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Banten, di mana godam tersebut berada.

Ki Duhari mengaku mendapatkan amanah dari ayahnya yang bernama Ki Jamsari untuk merawat dan meneruskan tradisi pembuatan Golok Ciomas.

Saat itu, Ki Jamsari memintanya untuk menjaga dan merawat baik-baik Godam Denok dan Si Rebo, sebutan Golok Ciomas pertama yang dibuat Ki Cengkuk yang hingga kini masih ada.

Hingga kini, Ki Duhari setia dengan garis takdirnya membuat Golok Ciomas dan merawat Godam Denok.

Ki Duhari mengungkapkan, tidak semua anak lelaki dari keturunan Ki Cengkuk mendapatkan amanah memelihara Godam Denok.

Hanya anak lelaki terpilih yang dianggap mampu yang akan diwarisi godam tersebut.

Dia mengaku ketika muda tidak terlalu peduli dengan apa yang dilakukan ayahnya saat membuat Golok Ciomas, termasuk tidak menaruh perhatian pada keberadaan Godam Denok.

Namun rupanya ayahnya mempercayakan benda keramat itu kepadanya.

Kini, Godam Denok disimpan satu ruangan dengan Si Rebo, sebuah golok pertama yang dibuat Ki Cengkuk.

Penampakan Si Rebo sudah begitu berkarat.

Golok panjang ini disimpan di sebuah lemari kaca transparan.

Gagangnya tidak terlihat karena dibungkus kain putih.

Di samping dan bawah Si Rebo, beberapa golok tampak tergeletak.

Golok-golok ini, kata Ki Duhari, sengaja diletakkan di dekat Si Rebo oleh pemiliknya agar mendapatkan “percikan” kesaktian dari golok pertama Ki Cengkuk ini.

Abahroji selaku Ketua Padepokan Godam Denok mengatakan, beberapa waktu lalu digelar peresmian Padepokan Godam Denok yang bertujuan melestarikan kebudayaan Banten, yakni Golok Ciomas.

Sejarah panjang Godam Denok pun menurutnya tidak bisa lepas dari cerita-cerita masyarakat Ciomas yang heroik.

Menurutnya, Golok Ciomas terkenal karena kehebatan dan dibuat oleh seorang pande yang cukup ulet saat itu yang dikenal dengan Ki Cengkuk.

Keahlian membuat Golok Ciomas itu kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada anak cucu Ki Cengkuk.

Selain itu, kehebatan Golok Ciomas juga karena pada masa penjajahan digunakan oleh orang-orang Banten untuk melawan penjajah.

Kini, keberadaan Godam Si Denok harus menjadi pusaka yang dimanfaatkan untuk mengingatkan kembali falsafah dalam menghadapi ancaman masa depan.

“Ancaman itu adalah rasa tidak peduli terhadap nilai budaya dan abai terhadap lingkungan sekitar,” kata Abahroji. ***

Pos terkait