Biaya Masuk SDIT Seharga Motor

sd

SERANG, BANTEN RAYA- Biaya masuk Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) di Kota Serang tergolong mahal. Bahkan ada salah satu SDIT di Kota Serang, biaya masuknya setara harga sepeda motor baru.

Tingginya biaya sekolah di SDIT, karena ditunjang dengan fasilitas lengkap, sarana prasarana memadai, dan beberapa program kegiatan unggulan, sehingga waktu pembelajarannya pun lebih lama.

Kepala SDIT Al Izzah Serang Lailatul Qodri mengatakan, pendaftaran peserta didik baru SDIT Al Izzah Serang tahun ajaran 2023/2024 kurang dari 150 siswa.

“Cuma 140 siswa. Kita buka pendaftaran di tanggal 1 Desember setiap tahun. Kalau kuota sudah terpenuhi, sudah tutup,” ujar Lailatul Qodri, kepada Banten Raya, Jumat (10/2/2023).

Kuota peserta didik baru di SDIT Al Izzah Serang mengikuti sesuai aturan pemerintah.

“Untuk kuota kita seperti itu seterusnya, karena seusai dengan undang-undang, enggak boleh lebih dari itu, dan juga menyesuaikan kondisi sarana prasarana kita cukupnya sekian,” jelas dia.

Lailatul Qodri menyebutkan, keunggulan SDIT Al Izzah Serang memiliki kurikulum yang berbeda dengan sekolah lainnya.

“Kita ada perbedaan mulai dari kurikulum, kita pakainya kurikulum Diknas, Depag, dan kurikulum khusus yaitu kurikulum JSIT,” ucapnya.

Lailatul Qodri menerangkan, kurikulum JSIT lebih menekankan karakter siswa, kemudian ada beberapa program unggulan. Contoh olahraga renang untuk siswa kelas IV, berkuda untuk siswa kelas III, dan memanah untuk kelas V.

“Keunggulan lain yang belum ada di sekolah lain itu keunggulan tahfidznya. Ada kelas khusus. Namanya kelas takhasus. Selain itu kelas reguler juga sama. Kita lagi berlakukan murajaah serentak, dan salat dhuha sebelum mulai belajar,” terangnya.

Pembelajaran Tahfidz, kata Lailatul Qodri, dimulai sejak kelas 1, hanya saja kelas khususnya dimulai dari kelas II hingga kelas VI.

“Kegiatan takhasus ini setiap Maret kita ada kegiatan namanya simaan. Di situ kita menampilkan hafalan siswa yang sudah mereka punya dihadirkan kedua orang tuanya. Sekali duduk satu sampai dua juz,” tutur dia.

Lailatul Qodri menyebutkan, kegiatan ekstra kulikuler di SDIT Al Izzah Serang jumlahnya 26 pilihan. Beberapa ekskul itu di antaranya, beladiri karate, marching band, pencak silat, bahasa Inggris, voli, dan futsal.

“Kalau ekskul kita ada 26 pilhan. Untuk ekskul kita pelatihnya ada dari luar juga, selain guru-guru dari kita,” sebutnya.

Menurut Lailatul Qodri, biaya masuk di SDIT Al Izzah Serang relatif masih murah bila dibandingkan dengan kegiatan yang ditawarkan untuk siswa.

“Biayanya relatif masih murah. Tahun ini nominalnya Rp 13,5 juta. Itu sudah termasuk kegiatan satu tahun, uang bangunan, SPP satu bulan Rp850 ribu, kegiatan belajar mengajar, kegiatan siswa, komite, seragam, dan buku. Kalau SPP sudah include dengan makan siang,” bebernya.

Lailatul Qodri mengatakan, biaya daftar ulang di SDIT Al Izzah Serang masih di bawah lima jari.

“Kalau daftar ulang di bawah Rp5 juta. Itu untuk kegiatan satu tahun. Jadi anak-anak tidak lagi dipungut biaya untuk kegiatan satu tahun,” katanya.

Lailatul Qodri menyatakan, tiap tahun biaya SPP SDIT Al Izzah Serang jarang naik.

“Kita hampir jarang naik. Kenaikan itu sebenarnya menyesuaikan. Tapi untuk kenaikan kita jarang sekali. Bisa dua sampai tiga tahun,” tegas dia.

Lailatul Qodri menjelaskan, biaya sekolah di SDIT lebih mahal ketimbang SD Negeri, lantaran sekolah swasta lebih banyak kegiatannya dibandingkan sekolah negeri.

“Mungkin karena swasta lebih banyak kegiatan dibandingkan SD negeri. Kemudian juga negeri dapat subsidi. Walaupun kita juga termasuk sekolah yang menerima BOS, tapi itu kembali ke semua siswa, kegiatan kita full. Kegiatan siswanya sangat banyak,” jelasnya.

Menurutnya, bila ada yang mengatakan sekolah swasta lebih mahal dibandingkan sekolah negeri, itu relatif.

“Kalau dibilang mahal itu relatif ya. Itu enggak sebanding dengan apa yang kita berikan ke anak-anak. Hampir semuanya itu kembali ke anak-anak,” tutur dia.

Meski biaya SDIT mahal, Lailatul Qodri mengatakan, SDIT Al Izzah Serang memiliki program orang tua asuh bagi murid yang tidak mampu.

“Kita ada program orang tua asuh dari yayasan, dan ada juga yang kita subsidi 100 persen gratis. Untuk anak yatim juga ada bantuan misalnya 50 persen SPP. Yang digratiskan juga ada,” ungkapnya.

Tahun ini, kata Lailatul Qodri, jumlah siswa SDIT Al Izzah Serang sebanyak ratusan anak murid.

“Seluruhnya 800 tahun ini. Kelas 1 sebanyak 127 siswa, seharusnya 140 anak. Karena kemarin pandemi ada beberapa yang mundur,” jelasnya.

Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kota Serang Tubagus Agus Suryadin mengatakan, SDIT termasuk sekolah swasta, sehingga sekolah swasta memiliki kebijakan sendiri dalam membuat anggaran sekolahnya. Siswa yang mau masuk ke SD tersebut mungkin sudah disosialisasikan.

“Jadi memang punya kebijakan sendiri.
Kalau untuk pembayaran sudah menjadi mekanisme setiap sekolah swasta,” kata Agus kepada Banten Raya, Minggu (12/2/2023).

Tubagus Agus Suryadin menuturkan, SDIT memiliki kegiatan keunggulan, sehingga banyak waktu untuk bisa mencetak generasi bangsa yang unggul dalam hal iptek, imtak, dan akhlak.

“Mungkin juga ada kelebihan kegiatan yang lain, yang mendukung seperti ekstrakurikuler, sehingga mempunyai banyak waktu kegiatan untuk bisa mencerdaskan siswa,” tutur dia.

Agus mengaku pihaknya berencana akan melakukan komunikasi dengan para sekolah SDIT di Kota Serang.

“Nanti kami akan kroscek, komunikasi lagi dengan SDIT, kalau memang dia memiliki kegiatan ekstrak lebih dari sekolah negeri.

Karena kita belum melihat pembayarannya seperti apa, dan kegiatannya apa saja. Biar jelas yang menjadi mahal segala macam itu apa,” katanya.

Muinudin, salah seorang warga Kota Serang, mengaku lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta lantaran belum percaya 100 persen terhadap kualitas pendidikan di sekolah negeri. Dia mengatakan, mayoritas guru sekolah negeri rata-rata sudah berumur, karena itu dinilai belum mampu beradaptasi dengan pembelajaran yang dibutuhkan anak-anak saat ini.

“Mohon maaf kalau saya dan istri tidak terlalu percaya dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah negeri,” katanya.

Karena itu Muin lebih memilih sekolah swasta untuk ketiga anaknya. Meski harus merogoh kocek yang lebih dalam, dia mengaku tidak masalah asalkan anak-anaknya mendapatkan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter belajar anak-anaknya.

“Tidak semua anak punya pola belajar yang sama. Kita seneng sekolah yang metodenya tidak membebani anak dengan banyak PR,” katanya.

Muin mengatakan, ketika memasukkan anaknya ke sekolah swasta ia harus mengeluarkan uang belasan juta sebagai uang pendaftaran. Bahkan di sekolah swasta yang lain yang merupakan SDIT dia pernah mendapatkan informasi biaya masuknya mencapai hingga Rp50 juta.

Muin mengatakan, ketika memilih sekolah swasta pun dia memilih sekolah yang memiliki metode belajar yang sesuai dengan karakter belajar anak-anaknya tersebut. Dia meyakini setiap anak memiliki caranya sendiri yang efektif ketika belajar. Sehingga, dia tidak mau menyekolahkan di sekolah swasta yang membuatkan anak banyak hafalan dan PR. Sebab dia tahu apa yang dibutuhkan oleh anak-anaknya.

Dia mengatakan, setiap anak memiliki metode belajarnya masing-masing agar mampu memahami setiap pelajaran. Dan di sekolah yang sekarang inilah dia menemukan sekolah yang menerapkan pembelajaran multi kecerdasan yang cocok dengan karakter belajar anaknya.

Di tempat terpisah, Bayu, salah seorang warga Kota Serang mengaku lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah negeri lantaran dia percaya anaknya bisa belajar bersosialisasi dengan teman-temannya. Menurutnya, di sekolah negeri anak-anak bisa belajar melihat realitas sesungguhnya di masyarakat yang tidak hanya terdiri dari orang mampu, melainkan juga masyarakat dari kalangan yang biasa.

“Supaya lebih bisa bersosialisasi lebih bagus. Karena kalau swasta kan kebanyakan rata-rata orang berada. Pergaulannya lebih ke materi,” katanya.

Bayu mengaku memiliki stigma yang kurang baik terhadap sekolah swasta yang lebih banyak mempertontonkan materi ketimbang sosial. Dia tahu tentang itu karena dia sendiri dulu pernah belajar di sekolah swasta dan sekolah negeri, sehingga mampu membandingkan kedua jenis sekolah tersebut. Pertimbangan lain adalah sekolah negeri lebih terjangkau karena biaya yang dikeluarkan hanya untuk membeli buku dan pakaian serta perlengkapan sekolah.

“Gua pribadi pernah sekolah di swasta dan negeri jadi bisa membandingkan secara nyata pergaulan di swasta dan negeri,” katanya.

Pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten Rohman mengatakan, fenomena adanya sekolah yang berbiaya tinggi tidak lepas dari adanya komersialisasi dunia pendidikan. Di mana pendidikan dipandang sebagai sebuah usaha untuk mengeruk pundi-pundi rupiah.

Di sisi yang lain, meningkatnya jumlah masyarakat kelas menengah yang secara ekonomi cukup kuat juga semakin mendorong mereka untuk berupaya menjadikan anak-anak mereka lebih berkualitas dan menyekolahkan ke sekolah yang memiliki nilai lebih, dibandingkan dengan sekolah negeri. Misalnya sekolah yang menawarkan penguasaan bahasa asing, penguasaan teknologi informasi, atau jiwa kewirausahaan pada anak.

“Itu kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi kelas menengah ini yang diberbagai kota jumlahnya terus meningkat,” kata Rohman.

Kebutuhan sekolah berkualitas dengan adanya orang tua yang mampu secara ekonomi dan mencari sekolah berkualitas kemudian memunculkan sekolah-sekolah dengan biaya tinggi, dengan segala macam kelebihan yang ditawarkan. Meskipun menurut Rohman, menyekolahkan anak di sekolah yang relatif mahal tidak menjamin masa depan yang cemerlang bagi anak di kemudian hari.

Fenomena munculnya sekolah berbiaya tinggi yang menawarkan sejumlah kelebihan, terutama dari sisi keagamaan, dibandingkan sekolah negeri, menurut Rohman juga merupakan fenomena masyarakat Indonesia saat ini yang pasca reformasi ingin terlihat lebih soleh, lebih baik dari sisi agama. Sehingga memunculkan sekolah yang mengusung sekolah Islam terpadu atau semacamnya.

“Maka dicarilah sekolah yang dianggap bisa meningkatkan kesalehan anak. Maka muncullah sekolah IT (Islam Terpadu) itu,” katanya.

Terkait dengan biaya SD swasta yang mencapai belasan juta bahkan puluhan juta rupiah, Rohman melihat hal itu juga tidak bisa dipisahkan dari gaya hidup masyarakat kelas menengah dan atas. Karena gaya hidup itu juga maka orang tua berani mengeluarkan biaya puluhan juta untuk menyekolahkan anaknya. Maka, lahirlah sekolah berstandar internasional dan semacamnya.

Rohman juga melihat, munculnya sekolah berbiaya tinggi merupakan otokritik bagi pemerintah untuk menciptakan sekolah negeri yang tidak hanya terjangkau secara biaya namun juga harus memiliki kualitas. Sebab berkaca pada Kota Serang, misalnya, sejumlah sekolah negeri yang dahulu memiliki lulusan unggul saat ini mulai tergeser oleh sekolah swasta yang berbiaya tinggi.

Menurut Roman, sudah seharusnya pemerintah lebih serius mewujudkan sekolah negeri yang berkualitas. Caranya dengan memperlengkap sarana prasarana pembelajaran yang dibutuhkan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, juga meningkatkan kualitas guru sehingga bisa lebih bersaing dengan sekolah swasta.

“Ini PR juga bagi sekolah negeri untuk bisa bersaing dengan sekolah swasta,” kata Rohman yang lulusan universitas Leiden Belanda ini. (harir/tohir)

Pos terkait