Menggali Inspirasi dari Kokohnya Mutiara di Kota Baja

IMG 20240613 WA0068

Suara berdecit rem motor yang kutunggangi, mengakhiri perjalanan singkat dari sekolah menuju suatu tempat perjanjian untuk menemui seseorang yang cukup kukagumi.

Suara parau pria paruh baya berbalut jaket berwarna dominan hijau memecah fokus pandanganku terhadap tempat tersebut.

Sunggingan senyum dari wajahnya menandakan keramahannya seraya mempersilakanku turun dari sepeda motor metik hitam miliknya.

Langkah kaki berlanjut menapak perlahan menuju gerbang kafe yang bertuliskan ‘Teman Baru’. Nama itu terlihat sangat kontras dengan maksud dan tujuanku untuk menemui seseorang yang merupakan teman lamaku.

Bola mata ini bergeser ke kanan dan ke kiri diiringi gerakan kepala menyasar target yang kucari. Namun, di dalam area tongkrongan kawula muda berukuran 7×8 meter persegi ini,
belum nampak sosok yang kunanti.

Sesaat berselang, terdengar lengkingan suara yang tidak asing di telingaku sehingga mengundang pandangan ini mengarah pada sumber suara itu.

Aku pun tersenyum, menyambutnya lalu kuraih tangannya dan kuarahkan ke sudut ruangan kafe. Kami duduk saling berhadapan.

Kami mulai berdiskusi tentang hal apa saja yang bisa kugali dari sosok teman yang menurutku bisa memotivasi banyak pelajar lainnya sepertiku ini.

Namanya Mutiara Akbar, pelajar kelas 11 di salah satu sekolah negeri favorit di kotaku, Cilegon, yang sering kami sebut sebagai Kota Baja ini.

Mutiara adalah sahabatku yang punya cukup banyak aktivitas di luar kewajibannya sebagai seorang pelajar.

Salah satu dari sekian banyak aktivitas yang diikutinya adalah Palang Merah Remaja (PMR).

Menurutnya, menjadi bagian dari kepalangmerahan adalah suatu hal yang dapat memenuhi kepuasan batinnya sebagai seorang manusia.
Dan baginya mendedikasikan diri untuk kepalangmerahan adalah minat yang tidak pernah dia sesali seumur hidupnya.

Sejak berada di masa seragam putih biru, perempuan yang akrab disapa Jeje ini, sudahmenyelami berbagai aktivitas kemanusiaan.

Bergabung dalam sebuah tim, menyelesaikan berbagai misi, dan meraih berbagai capaian merupakan tugas dan amanah yang sudah tidak asing baginya sebagai ketua umum PMR di sekolahnya hingga saat ini.

Bahkan tidak hanya di sekolah, berkat dedikasi dan jiwa kepemimpinannya, saat ini Jeje dipercaya menakhodai Forpis (Forum Remaja Palang Merah Indonesia) Kota Cilegon.

Sedikit bercerita, Jeje mengungkapkan bahwa menyelami berbagai aksi kemanusiaan membuat dirinya merasakan kasih sayang kembali, yang sebelumnya rumpang dalam hidupnya sepeninggal orang-orang terkasihnya. Mulai dari ayahnya, kakaknya, hingga
terakhir dia harus merasakan kesendirian yang hakiki setelah ibunda tercintanya pergi menyusul keduanya.

Dalam berbagai organisasi kemanusiaan yang diselaminya, Jeje mengaku kembali bisa merasakan cinta yang begitu luas dengan penuh syukur sehingga tidak lagi merasakan
kesendirian yang menahun.

Tidak cukup sebatas berkecimpung di dunia kepalangmerahan saja. Jeje kembali mendedikasikan dirinya dalam sebuah forum anak di Kota Cilegon yang bernama Fakocil.

“Fakocil itu kan mendorong keterlibatan anak dalam suatu proses pengambilan keputusan dan menjembatani komunikasi antara pemerintah dan anak-anak yang tujuannya untuk pemenuhan partisipasi hak anak. Jadi ini menarik bagiku,” paparnya.

Jeje menjelaskan, eksistensinya di Fakocil menuntut dirinya untuk bisa membantu memenuhi hak-hak anak termasuk dirinya sendiri. Tugas ini menurutnya tidak terlalu jauh berbeda dengan aksi kemanusiaan di kepalangmerahan yang lebih dulu digelutinya.

“Tugas utama aku dan teman-teman di Fakocil itu mendorong pemenuhan 10 hak anak. Diantaranya, hak mendapatkan identitas, hak mendapatkan pendidikan, hak bermain, hak mendapatkan perlindungan, termasuk hak mendapatkan jaminan kesehatan,” tuturnya.

Untuk mewujudkan pemenuhan 10 hak anak tersebut, Jeje bersama anak-anak lainnya di Fakocil berupaya mengajak seluruh anak di Kota Cilegon untuk dapat memposisikan diri sebagai pelopor sekaligus pelapor terkait pemenuhan hak anak ini.

Perjuangan membela 10 hak anak, lanjut Jeje, harus dilakukan secara konsisten dan sungguh-sungguh dengan komitmen yang kuat.

Dengan begitu, dirinya seolah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa setiap anak memiliki hak yang sama walau dengan latar belakang dan kondisi yang berbeda.

Begitupun dengan anak-anak penyandang disabilitas yang berkebutuhan khusus dengan
segenap perbedaan yang tampak jelas jika dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.

Meski berbeda, anak-anak penyandang disabilitas ini tetap memiliki hak yang sama atas apapun yang diberlakukan kepada anak normal.

Salah satu implementasinya, diwujudkan Jeje dengan mengikuti kegiatan Jawara Anti Narkotika Kota Cilegon yang diinisiasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Cilegon.

Melalui kegiatan ini, jeje berusaha memenuhi hak perlindungan kepada anak-anak dari bahaya narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) yang dipastikan dapat merusak mental dan membuat masa depan menjadi suram.

Melalui sosialisasi bahaya narkoba tersebut, Jeje berharap seluruh anak dapat terlindungi dan punya bekal pengetahuan serta wawasan tentang bahaya narkoba sehingga bisa menjadi pedoman dasar agar terhindar dari penyalahgunaan narkoba yang bisa merusak masa depannya.

Dari semua kegiatan kemanusiaan yang telah memuaskan batinnya, Jeje tetap berusaha memberikan keseimbangan dari sisi kerohanian untuk dirinya.

Jeje tercatat aktif dalam struktur organisasi Remaja Islam Masjid (Risma) di lingkungan di mana dia berdomisili. Berbagai kegiatan keagamaan pun ditekuninya.

Segudang kesibukan berorganisasi tidak lantas mengesampingkan kewajiban utamanya sebagai pelajar. Menuntut ilmu secara akademis tetap menjadi fokus baginya.

Jeje tetap menjaga prestasi akademiknya dengan mempertahankan posisi rangking kelas dalam lingkaran 10 besar. Meski tidak menjadi yang terbaik di kelasnya, namun masuk
dalam susunan peringkat 10 besar bukanlah hal yang buruk.

Jeje, bagiku adalah cerminan pelajar Pancasila yang kokoh dalam mengarungi kerasnya kehidupan pada level manusia yang ‘dipaksa’ berproses mencari kedewasaan dan
kemandirian.

Di saat anak seusianya kebanyakan masih hidup dalam topangan orangtuanya. Hal yang beda telah dialami oleh anak perempuan berparas manis ini.

Mencari pundi-pundi rupiah sudah mulai dia jalani dengan tetap menjaga konsistensi prestasinya sebagai pelajar. Melalui bakat mengolah bahasa dan kepercayaan diri tinggi yang dimilikinya, dia jadikan modal untuk menyelami dunia Pewara (Pembawa Acara) atau yang lebih familiar dengan sebutan MC (Master of Ceremony).

Seluruh kebebasan yang diperoleh Jeje dalam melakukan aktivitas kemanusiaan, berorganisasi, dan upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya bisa terwujud karena penerapan kurikulum merdeka belajar yang memfokuskan pada program Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Dimana setiap pelajar Indonesia diharapkan mampu berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila.

Kesempatan yang diberikan pemerintah melalui penerapan kurikulum merdeka belajar di sekolah, ditangkapnya sebagai suatu peluang untuk bisa terus berkembang menjadi manusia yang kuat dan bermanfaat bagi manusia lainnya.

Implementasi kurikulum merdeka belajar dijadikannya peluang emas untuk semakin termotivasi menanam benih-benih kesuksesan yang kelak diyakini bisa dinikmati di masa yang akan datang.

Inilah Jeje, sesosok Mutiara dari kota baja yang berhasil meromantisasikan hidupnya hingga dia menemukan jalan resiliensinya. Jika dalam dunia dongeng permasalahan hidup
dapat terselesaikan melalui kisah hadirnya seorang pahlawan atau pangeran penolong, tidak demikian dengan dunia nyata.

Segala persoalan bisa teratasi dengan cara menghadapinya diiringi keyakinan dan semangat untuk bangkit dari keterpurukan serta membangun kembali kehidupan baru yang lebih baik. Hal itu terbukti melalui kisah hidup Jeje, yang diharapkan bisa
menginspirasi seluruh pelajar Indonesia menjadi pelajar yang lebih kuat, optimis, dan sesuai dan nilai-nilai Pancasila. ***

Pos terkait