Dorong Pengembangan Pasar Karbon, IBC Rekomendasikan 8 Poin ke OJK RI

IMG 20240320 WA0003
BANTENRAYA.CO.ID – Asosiasi pimpinan sektor swasta Indonesian Business Council atau IBC menyerahkan rekomendasi untuk pengembangan pasar karbon di Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan atau OJK RI.
Chief Executive Officer IBC Sofyan Djalil menjelaskan, pasar karbon menjadi kekuatan dan komponen penting dalam peningkatan daya saing Indonesia.
“Kesuksesan pasar karbon akan sangat ditentukan oleh dunia usaha Indonesia sebagai pelaku langsung. IBC telah melakukan riset dan menyusun rekomendasi tentang membangun pasar karbon yang inovatif, kompetitif, dan juga berdampak,” kata Sofyan pada diskusi Mengembangkan Pasar Karbon Indonesia: Peluang untuk Pertumbuhan Ekonomi dan Keberlanjutan yang diselenggarakan Indonesia Business Council bersama Katadata di Jakarta pada 19 Maret 2024.
Sofyan menjelaskan rekomendasi IBC, untuk jangka pendek, diantaranya adalah: mengembangkan Pusat Pengetahuan Pasar Karbon, meningkatkan sistem registrasi nasional pengendalian perubahan iklim sehingga terintegrasi secara nasional, mendorong sektor publik untuk menentukan dan menghitung batas emisi di tingkat entitas, serta melengkapi para pelaku industri dengan peluang pendanaan dan hibah fasilitas pendanaan dari IEF/BPDLH.
“Yang tidak kalah penting adalah pengakuan industri melalui pertukaran karbon dan taksonomi hijau sehingga partisipasi pada pasar karbon jauh lebih efektif,” paparnya.
Untuk jangka menengah dan jangka panjang, IBC mengusulkan,
Pertama, Penunjukan pemimpin industri dan membentuk tim akselerasi untuk menentukan strategi pasar karbon Indonesia.
Kedua, Mengembangkan peta jalan perdagangan karbon yang secara komprehensif memetakan rantai pasokan.
Ketiga, Mengkaji ulang Peta Jalan Perdagangan Karbon, Peta Jalan Bursa Karbon dan POJK tentang Bursa Karbon.
“Bagi dunia, pasar karbon menawarkan prospek yang menjanjikan untuk mengembangkan ekosistem ekonomi yang tangguh, di mana industri dapat memperoleh manfaat dari upaya mereka untuk memulihkan lingkungan melalui strategi mitigasi dan adaptasi. Sementara bagi Indonesia, pasar karbon adalah juga jalan menuju pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) yang sudah kita komitmenkan pada Paris Agreement,” paparnya.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon, Inarno Djajadi mengatakan, implementasi perdagangan karbon, yang diwujudkan melalui penerapan bursa karbon, telah menjadi target penting berbagai negara di dunia.
Bahkan dalam lima tahun terakhir, berbagai bursa karbon telah didirikan di sejumlah negara seperti Malaysia, China, Korea Selatan, Inggris, dan Uni Eropa.
Kata Inarno, semenjak diluncurkannya Bursa Karbon pada 26 September 2023, hingga saat ini telah terdaftar 52 Pengguna Jasa pada Bursa Karbon yang berasal dari sektor energi, kehutanan, lembaga jasa keuangan (perbankan dan sekuritas), konsultan, dan sektor lainnya (termasuk media).
Kemudian, hingga 18 Maret 2024, total akumulasi volume transaksi sebesar 501.956 ton CO2e, dengan nilai Rp31,36 miliar. Dari transaksi tersebut, sebesar 182.293 ton CO2e juga telah dilakukan retired melalui Bursa Karbon.
Saat ini OJK juga telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon, dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12 tahun 2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon.
“Kami berharap Bursa Karbon ini dapat menjadi salah satu pusat perdagangan karbon di dunia melalui penyiapan institutional framework seperti kerangka pengaturan dan kesiapan infrastruktur teknologi, sejalan dengan Strategi Nasional Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan (SN-PPPK),” katanya.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dhewanthi menjelaskan, perdagangan karbon harus memenuhi Instrumen Tata Kelola Karbon yaitu tercatat dan tertelusur pada System Registry Nasional Pengendalian Perubahan Iklim atau SRN PPI, sistem Measurement, Reporting and Verification atau MRV, penerbitan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dan otorisasi dan corresponding adjustment.
“Ada beberapa prinsip agar ekosistem yang kita kembangkan sesuai arahan Bapak Presiden berintegritas, inklusif, transparan dan berkeadilan. Kita punya SRN yang inline dengan internasional registry yang nanti akan dibangun UNFCCC. Kita punya MRV yang ikuti standar UNFCCC sehingga kita bisa lebih mudah kerja sama untuk keberterimaan dengan berbagai macam pihak. Indonesia juga sudah punya crediting scheme SPE GRK yang kita siapakan untuk bisa lakukan mutual recognition dengan crediting scheme yang sekarang sudah ada,” kata Laksmi.
Pada cara tersebut turut hadir Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin.
Ia mengatakan, saat ini Kementerian Keuangan masih menyusun kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas penerbitan Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE) dan PNBP atas perdagangan karbon yang wajar dan proporsional.
Aturan teknis pelaksanaan ini bertujuan agar pengenaan pajak karbon yang berlaku di Indonesia dapat memenuhi asas keadilan, terjangkau dan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat.
“Kita punya banyak instrumen keuangan untuk membangun ekosistem carbon market. OJK bersama Kementerian Keuangan juga sedang membangun ekosistem transition finance, kita sedang memasukan transition ke dalam taksonomi. Jadi, banyak sekali usaha yang bisa kita lakukan pada financing for climate.
Tetapi untuk setiap jenis instrumen, seperti misalnya green bonds punya karakter berbeda, kemudian carbon market punya peraturan yang berbeda, sehingga kolaborasi antara bisnis antara bisnis sektor, regulator, kemudian penyelenggara bursanya sendiri dan sisi demand dan supply harus terus kita jaga,” tutupnya.***

Pos terkait