Penulis: Awang Pramila, BSM, MM
Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Banten.
[dropcap]M[/dropcap]enurut International Monetary Fund (IMF) dalam laporan World Economic Outlook Edisi Oktober 2022, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia 2023 diperkirakan sebesar 2,7 persen atau melambat dibanding dengan tahun 2022 yang sebesar 3,2 persen.
Hal ini terjadi karena masih berlarutnya perang invasi Rusia ke Ukraina yang berimbas berkurangnya pasokan energi dan komoditas pangan internasional. Begitu pula dengan pandemi Covids-19 yang berkepanjangan di beberapa wilayah dunia. Namun untuk wilayah ASEAN-5 yang didalamnya termasuk Indonesia diperkirakan akan tumbuh 5,3 persen pada tahun 2022 dan 4,9 persen pada tahun 2023.
Sementara itu, dari Asian Development Outlook September 2022 juga melakukan revisi pertumbuhan ekonomi ASIA pada tahun 2022 dari 5,2 persen menjadi 4,3 persen dan pada tahun 2023 dari 5,3 persen menjadi 4,9 persen. Penyebabnya relatif sama dengan kondisi global ditambah adanya pengetatan moneter yang lebih agresif di negara-negara maju, dan penguncian akibat kebijakan nol-COVID Republik Rakyat Tiongkok jelas berpengaruh langsung terhadap kegiatan perekonomian di Asia.
Dari catatan pertumbuhan ekonomi global dan ASIA kita bisa mencermati suatu hal yang sangat menarik, yaitu di tingkat global terjadi perlambatan namun ada sebagian wilayah regional justru terjadi percepatan pertumbuhan. Secara umum, bahwa perekonomian di ASIA masih bisa tumbuh disekitar 5 persen.
Indonesia sendiri pada tahun 2023 juga diproyeksikan IMF tumbuh 5 persen walupun angka tersebut lebih rendah dari target APBN yang sebesar 5,3 persen. Sampai dengan bulan September 2022 secara kumulatif ekonomi Indonesia tumbuh 5,40 persen dan sampai akhir tahun 2022 diproyeksikan tumbuh 5,3 persen.
Walaupun terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi, selama belum terjadi pertumbuhan negatif secara berturut-turut maka potensi terjadinya krisis ekonomi dunia adalah kecil, untuk Indonesia diperkirakan dalam 5 tahun tahun kedepan masih akan mampu bertahan dalam kondisi dunia yang kurang stabil ini.
Hal ini dikarenakan bahwa kekuatan produksi pangan Indonesia masih baik dan perlu dijaga sebagai batas terendah kestabilan suatu bangsa. Seberapapun krisis dan resesi yang terjadi asal ketahanan pangan bisa dikelola dengan baik akan lebih mudah untuk menghadapi gejolak masyarakat. Disisi lain, sumber daya energi seperti batubara dan mineral bahan tambang akan tetap menjadi sumber devisa negara sebagai penopang pembangunan dan Impor bahan baku yang diperlukan dalam keberlangsungan industri dalam negeri dan konsumsi masyarakat yang sementara ini belum bisa diproduksi sendiri.
Kondisi Banten
Sebagai salah satu kekuatan pertumbuhan ekonomi Banten adalah Ekspor, perlu dilihat negara mana saja yang menjadi mitra dagang baik ekspor maupun impor. Kondisi ekonomi negara mitra dagang akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Banten. Dalam tahun-tahun terakhir tujuan utama ekspor Banten adalah Amerika Serikat, Tiongkok, Vietnam dan Jepang.
Menurut rilis BPS Provinsi Banten 1 November 2022, ekspor Nonmigas Banten Ke Amerika Serikat pada Januari-September 2022 mencapai USD1.822,54 juta atau sekitar 17,14 persen dari total ekspor Nonmigas Banten. Diikuti Tiongkok USD1.358,58 juta (12,77%), Vietnam USD695,67 juta (6,54%) dan Jepang USD673,01 juta (6,33%). Artinya bahwa kondisi ekonomi negara-negara mitra dagang tersebut akan mempengaruhi besaran ekspor Banten yang secara total memiliki pangsa pasar sekitar 40 persen. Dengan berkurangnya ekspor ke negara tersebut maka Banten perlu mencari terobosan atau ceruk pasar baru dalam memasarkan hasil produksi Banten, termasuk option pasar dalam negeri.
Begitu pula dengan mitra dagang dari sisi impor Luar negeri seperti Australia, Brazil, Singapura dan Thailand, dimana dengan analogi yang sama bila terjadi ganguan perekonomian di negara tersebut maka Banten harus mencari mitra negara impor baru atau bahkan bisa memanfaatkan produk dalam negeri sebagai bahan baku industrinya. Tentunya hal tersebut jauh lebih menguntungkan baik dari segi biaya karena transportasi dan devisa yang tidak perlu dikeluarkan untuk memperoleh bahan baku.
Pertumbuhan Ekspor Nonmigas Banten yang mencapai 9 persen merupakan harapan cerah bahwa komoditas yang diproduksi Banten masih merupakan pilihan yang diperhitungkan oleh negara pengimpornya. Sementara itu, dari sisi impor nonmigas juga meningkat lebih tajam yaitu dari USD7.081,11 juta menjadi USD8.245,15 juta atau naik 16,44 persen, hal ini menandai bahwa Banten selain sebagai eksportir juga merupakan provinsi dengan industri untuk melayani kebutuhan dalam negeri. Karena impornya berupa bahan baku/penolong (peran 97%) dan barang modal (peran 1%) ini akan meningkatkan gairah produksi dan menjadikan Banten surplus dalam perdagangan antar wilayahnya.
Perekonomian Banten juga sudah mulai lepas dari bayang-bayang Covids-19, terutama ditandai semakin meningkatnya mobilitas masyarakat Banten. Adanya peningkatan volume lalu lintas kendaraan pada ruas jalan tol di Banten triwulan 3-2022 yang tumbuh dikisaran 5 persen bila dibanding triwulan 2-2022 (qtoq) atau dibanding triwulan yang sama tahun lalu tumbuh sekitar 16 persen (YoY).
Begitu pula dengan jumlah penumpang pesawat terbang meningkat 5 persen (qtoq) dan 326 persen (YoY), dan jumlah penumpang kereta api naik 13 persen (qtoq) dan 230 persen (YoY). Sementara itu, jumlah penumpang penyeberangan (ASDP) terjadi penurunan sebesar 18 persen (qtoq), namun masih meningkat 46 persen dibanding triwulan yang sama tahun lalu (YoY).
Ini berarti bahwa dengan adanya pelonggaran kegiatan masyarakat maka mobilitas masyarakat Banten sudah mulai kembali normal. Kegiatan ekonomi yang terkait dengan mobilitas dan kerumunan masyarakat akan secara langsung terkena dampaknya. Sebagai contoh, apabila perjalanan dalam rangka wisata maka perhotelan, restoran, industri oleh-oleh terutama makanan dan kerajinan tangan akan terjadi peningkatan permintaan atau adanya penciptaan nilai tambah ekonomi.
Walaupun terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi dan non-subsidi di awal September 2022, tetapi bila melihat fenomena yang ada yaitu meningkatnya mobilitas penduduk maka terlihat bahwa daya beli masyarakat Banten pada triwulan 3-2022 masih terjaga.
Dan ini diperkuat dengan catatan adanya konsumsi BBM yang meningkat 7 persen (qtoq) dan 15 persen secara year on year. Kenaikan komoditas-komoditas barang sebagai pemicu Inflasi, tidak serta-merta mendorong terpuruknya ekonomi Banten, peningkatan daya beli masyarakat dengan jaring pengaman sosial, pemberdayaan ekonomi UMKM, belanja Pemerintah yang efektif dan pihak swasta yang semakin kreatif dalam berinovasi dan pemasaran hasil produksi membuat Banten pada triwulan 3-2022 tumbuh 5,71 persen.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia yang terjadi dan bahkan bisa mengarah menjadi resesi dunia, dalam waktu dekat ini bahkan dalam beberpa tahun ke depan tentu akan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia atau secara khusus terhadap perekonomian Banten tetapi untuk Banten terjadi resisi sepertinya masih bisa dihindari. Kerjasama dan kolaborasi Masyarakat, Pemerintah dan Swasta yang baik maka Resesi dunia bukan berarti resesi Banten.***