BANTENRAYA.CO.ID – Berikut ini merupakan sejarah dari pondok pesantren darussalam Trenggalek yang berumur 4 abad lebih.
Pondok pesantren Darussalam diperkirakan berumur 4 abad lebih setelah yang telah melakukan perjalanan panjang sekali.
Pondok pesantren ini didirikan tahun 1720 dan telah melahirkan para pengasuh pondok pesantren serta ribuan santri yang menjadi ulama.
Dalam artikel ini akan membahas sejarah perjalanan panjang pondok pesantren Trenggalek yang berumur 4 abad lebih.
BACA JUGA : Sambut 1 Abad Sumpah Pemuda, Kadis DPK Cilegon Sebut Peran Pemuda Belum Maksimal
Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional yang para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri.
Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya.
Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Di Pesantren para siswa biasa disebut santri dan mereka akan belajar hidup lebih mandiri dan sangat jauh dari orang tua.
BACA JUGA : 15 Link Twibbon Hari Sumpah Pemuda ke-95 Tahun 2023, Desain Menarik dan Keren
Lantas seperti apa sih keadaan pondok pesantren Darussalam Trenggalek yang berumur 4 abad lebih.
Dikutip Bantenraya.co.id dari dari berbagai sumber merupakan sejarah pondok pesantren darussalam Trenggalek yang berumur 4 abad lebih.
Sejarah Pondok Darussalam Trenggalek
Pondok Pesantren Darussalam merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang tertua di Kabupaten Trenggalek.
Sejak pertama berdiri sampai sekarang terdapat 8 pemimpin (pengasuh) ponpes Darussalam.
BACA JUGA : Di Hadapan Ratusan Siswa SMAIT Raudhatul Jannah, Helldy Akui Sering Telat Terima Kiriman Wesel
Pertama, Abu Thalab, beliau merupakan ulama yang berasal dari Kendal, Jawa Tengah. Beliau hijrah dari Kendal menuju daerah yang belum di sentuh oleh agama Islam yaitu Trenggalek.
Kepergiannya dari Kendal menuju Trenggalek tidak lepas dari kebijakan Belanda pada tahun 1825 bahwa pergerakan para ulama atau kyai harus dibatasi karena dapat mengancam kedudukan Belanda di Nusantara.
Berawal dari hal inilah perjuangan para ulama untuk menyebarkan agama Islam semakin meningkat (Catatan mengenai ponpes Darussalam, tt:1.
Pada tahun 1870 Abu Thalab pergi ke Trenggalek dengan temanya yaitu Kyai Muzdalifah. Beliau berdua ini berhenti di tempat yang berbeda.
BACA JUGA :Cegah Berita Hoaks, PWI, SMSI dan IJTI Pandeglang Tekan MoU dengan Bawaslu
Kyai Muzdalifah berhenti di Desa Santren, Kecamatan Rejowinangun, Trenggalek. Buktinya dapat diiedentifikasi dari makam beliau yang ada di desa Santren.
Sementara, Kyai Thalab berhenti di desa Kedunglurah, Kecamatan Pogalan, Trenggalek.
Beliau disini menikahi wanita yang bernama Tumijah. Beliau memutuskan untuk memilih tempat yang bagus untuk dijadikan tempat tinggal dan untuk menyebarkan Islam.
Beliau memilih desa yang dekat dengan Medang Kamulyan yaitu desa Sumbergayam. Di tempat ini beliau mendirikan surau yang beratap dari ilalang serta bertembok anyaman bambu dan berlantaikan papan.
BACA JUGA :Prabowo-Gibran Kuasai Banten
Lewat surau ini beliau menyebarkan agama Islam pada masyarakat setempat. Perkawinan dengan ibu Tumijah ini beliau diberi enam orang anak yaitu Dariroh, Syarifah, Rustamaji, Badruddin, Murtosiyah, dan Abdulloh Jawahir.
Dari ke enam anaknya ini yang kemudian melajutkan perjuangan beliau untuk menyebarkan Islam adalah Badruddin (Sholekan, 02 November 2014).
Pondok ini didirikan pada tahun 1720. Beliau belajar di Pondok Mojosari kurang lebih selama 18 tahun.
Banyak hal yang diperoleh selama beliau belajar di Pondok Mojosari, mulai dari ilmu tentang fiqih, sampai ilmu tentang tarekat.
BACA JUGA :Fakta-Fakta Jeje Soekarno, Anak Donna Harun yang Jadi Sorotan
Ilmu yang telah diperolehnya, beliau aplikasikan untuk meneruskan perjuangan ayahnya untuk menyiarkan agama Islam di Desa Sumbergayam.
Beliau menjadi pimpinan pondok jajar (nama sebelum berubah menjadi Darussalam) sejak tahun 1910.
Pada tahun ini, santri-santri yang belajar di pondok jajar masih sedikit, hal ini karena masih adanya pengaruh Belanda di Nusantara.
Belanda melakukan pengawasan secara serius terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Nusantara, baik formal maupun non formal.
BACA JUGA :VIRAL! Murid SMA di Barito Kalteng Tantang Guru Berkelahi di Sekolah Sampai Buka Baju
Pondok Jajar untuk model pembelajaranya sendiri masih menerapkan sorogan dan bandongan. Hal ini tidak lepas dari sikap wira’i kyai Baddrudin.
Sikap wira’i merupakan anggapan untuk meningggalkan hal-hal subhat. Seiring dengan perkembangan zaman, pondok jajar juga mengalami perkembangan dari segi pendidikanya.
Menurut Sholekan (2 November 2014) bahwa ”Kyai Baddrudin memiliki istri yang bernama Nyai Isti’anah, dan memiliki tiga orang anak, yaitu Hamid, Agus Qomarudin, dan Hilaiyah.
Dan anak yang nomor dua dan tiga inilah yang menjadi penerus perjangan di pondok Jajar”.
Pada tahun 1957 kyai Baddrudin wafat karena kecelakaan. Pondok Jajar sepeninggalan kyai Badrudin mengalami pasang surut karena tidak ada pengganti yang sejajar dengan kyai Badruddin.
Sepupu dari kyai Baddrudin yaitu kyai Mazful ditunjuk oleh para kerabat untuk memimpin pondok Jajar, tetapi tidak berapa lama menjadi pemimpin pondok beliau juga meninggal dunia.
Di pihak yang lain putra kedua dari Kiyai Baddrudin yang sedang mondok di Jawa Tengah yaitu Agus Komaruddin dipanggil untuk pulang ke Sumbergayam untuk menjadi pemimpin pondok Jajar.
Beliau mengambil kebijakan untuk menyuruh adiknya yang bernama Hila’iyah untuk segera menikah karena usianya telah menginjak remaja.
Beliau pun menikahkan adiknya dengan pemuda yang alim dan gagah dari Desa Sukorame, Kecamatan Pogalan, Trenggalek yaitu Mohammad Yunus.
Kiyai Agus Qomaruddin menikahkan adiknya ini memiliki tujuan ketika beliau sudah meninggal nanti estafet kepemimpinan dapat dipegang oleh adiknya.
Cita-cita dari beliau untuk menikahkan adiknya terpenuhi. Karena Beliau merasa belum selesai dalam menuntut ilmu dalam bidang keagamaan akhirnya beliau memutuskan untuk menempuh pendidikan di Pondok Abul Faid Blitar pada tahun 1960.
Satu setengah tahun beliau menempuh pendidikan di Blitar kemudian beliau pulang ke Jajar dan merintis pendidikan yang berkelas yang diberi nama Madrasah Roudlotut Tolibin, madrasah ini diresmikan pada tanggal 21 Maret 1962.
BACA JUGA :UMKM di Banten Didorong Naik Kelas, Diperlukan Campur Tangan Banyak Pihak
Tranformasi penyelanggaraan pendidikan terjadi di pondok Jajar, yang semula hanya berupa pondok berubah menjadi ponpes dengan adanya madrasah ini.
Sejak saat itu ada jenjang pendidikan yang jelas, jika sebelumnya hanya pondok maka berkembang menjadi 3 jenjang yaitu Ibtida’iyah, Tsanawiyah dan Aliyah.
Tidak lama setelah merintis berdirinya madrasah Roudlotut Tolibin, kyai Agus Qomaruddin meninggal dunia. Pimpinan berikutnya dipegang kyai Tarmuji yang merupakan suami kedua dari nyai Isti’anah.
Tetapi selang beberapa bulan, kyai Tarmuji juga meninggal dunia ketika beliau sedang menjadi imam sholat Jumat.
Secara resmi estafet dipegang oleh Kyai Mohammad Yunus pada bulan Desember tahun 1962 (Sholekan, 2 November 2014).
Pada masa kepemimpinan Kyai Mohammad Yunus pondok Jajar mengalami perkembangan secara perlahan menuju kebesaran.
Beliau dalam memimpin ponpes mementingkan musyawarah dengan masyarakat sekitar demi tercapainya kemajuan pendidikan di ponpesnya.
Pernah beliau mendapat saran jika ponpesnya diberi tanda dengan sebuah nama, karena ponpes ini belum punya nama. Karena nama jajar sendiri adalah sebuah dusun.
BACA JUGA :Kuota Rumah Subsidi Tahun 2024 Bakal Berkurang, Berikut Penjelasan REI Banten
Beliau mempertimbangkan usulan tersebut. Beliau melakukan sholat istiqhoroh untuk meminta petunjuk. Akhirnya beliau memberikan ponpes tersebut dengan nama Darussalam.
Kyai Muhammad Yunus memiliki istri yang bernama Nyai Hilaiyah, dari pernikahanya ini beliau memiliki enam orang anak, diantaranya Agus Fahrurrozi, Ibu. Hj. Sarirotus Sa`diyah, Agus Yahya (meninggal masih kecil), Agus Hamam Mundzir, Agus Jauhari, Agus Afifudin.
Sejak dipimpin Kyai Mohammad Yunus pondok pesantren Darusalam banyak diminati oleh para santri baik yang berasal dari dalam Kabupaten Trenggalek atau berasal dari luar Kabupaten Trenggalek.
Para santri ada yang mondok ada juga yang langsung pulang pergi dari rumahnya. Pada tahun 1980 jumlah santri laki-laki semakin banyak.
BACA JUGA :15 Ucapan Berkelas Hari Sumpah Pemuda 2023, Kobarkan Semangat Kebangsaan
Hal ini membuat Ponpes Darussalam semakin dikenal, pada tahun yang sama pula beberapa orang tua tertarik untuk menitipkan anak perempuanya mondok di Ponpes Darussalam.
Berdasarkan kenyataan yang ada bahwa yang berminat untuk mondok tidak hanya para laki-laki maka pada tahun 1985 dibangun ponpes Darussalam putri yang terletak 50 meter di sebelah barat ponpes Darussalam putra.
Dalam perkembanganya beberapa gadis desa mondok ke ponpes putri dengan cara nduduk (bhs. jawa) atau pulang-pergi dari rumah ke pondok.
Baru sejak tahun 1986 ada dua perempuan yang berasal dari Jember dan Dongko yang bermukim di ponpes Darussalam.
Pada tahun 2012 Kyai Mohammad Yunus meninggal dunia karena sakit dan kepemimipinan diberikan kepada putranya yang terakhir bernama KH. Agus Afifudin Yunus.
Pendiri
Kiyai Abu Thalab
Pengasuh
1. Kiyai Abu Thalab
2. Kiyai Baddrudin
3. Nyai Isti’anah
4. Kiyai Mazful
5. Kiyai Agus Qomaruddin
6. Kiyai Tarmuji
7. KH. Muhammad Yunus
8. KH. Agus Afifudin Yunus.
Itulah sejarah dari pondok pesantren darussalam Trenggalek yang berumur 4 abad lebih.***