BANTENRAYA.CO.ID – Sahroni (42), warga Kampung Hambur, Desa Cigoong Utara, Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak tak bisa berbuat banyak untuk keluarganya setelah dinyatakan posititif penyakit tuberculosis (TBC).
Kondisi itu memaksa dia untuk tidak bergerak aktif, apalagi untuk bekerja.
Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, Sahroni dan istrinya, Masitoh (33) beserta empat anaknya yang masih kecil, hidup dengan mengandalkan pemberian saudara dan tetangga.
Namun Masitoh rupanya sesekali mengumpulkan barang plastik rongsokan yang bisa dijual untuk tambahan membeli isi dapur mereka.
BACA JUGA : Sampah Liar di Kota Serang Dibakar Akibat Tak Diangkut
Tak sampai di situ, derita keluarga kecil itu diperparah karena mereka harus tinggal di rumah yang sangat tidak layak.
Kondisi rumah berdinding bilik bambu berukuran 4×5 meter persegi itu lebih mirip gubuk yang menua dimakan waktu.
Atap bocor di sana-sini, lantai tanah lembap dan dingin, serta dinding yang berlubang menjadi saksi bisu perjuangan keluarga kecil ini melawan kemiskinan dan sakit yang tak kunjung usai.
Sebelum TBC yang ia derita parah, Sahroni sebetulnya bekerja sebagai penjual gorengan.
BACA JUGA : Empat Taman di Kota Serang Direvitalisasi Habiskan Anggaran Rp400 Juta
Namun kini, tubuhnya makin ringkih dan lemah, serta nafasnya yang kian tersengal, membuat dirinya tak sanggup untuk sekadar mengaduk adonan.
“Dulu saya jualan gorengan di pinggir jalan, hasilnya paling Rp60 ribu sehari buat makan anak-anak. Sekarang enggak bisa kerja lagi, batuk terus, napas sesak,” kata Sahroni, Minggu (12 Oktober 2025).
Sahroni mengaku, penyakitnya itu telah ia derita sejak setahun ke belakang. Awalnya ia mengira hanya sakit batuk biasa.
Namun karena kondisinya tak membaik, ia akhirnya memutuskan untuk berobat ke Puskesmas Koncang. Namun hingga saat ini dirinya tak juga mendapat rujukan dan kondisinya kian memburuk.
BACA JUGA : Mahasiswa Sebut Satu Pulau Hilang Akibat Reklamasi
“Saya sudah minta surat rujukan, tapi cuma disuruh cek dahak lagi. Sudah dua bulan hasilnya belum juga dikasih. Badan rasanya makin lemas,” ujarnya.
Sementara sang istri, Masitoh menuturkan, setiap kali hujan datang, malam mereka berubah menjadi kepanikan.
Anak-anak yang terlelap sering harus digendong dan dipindahkan ke sudut rumah yang masih kering.
“Kalau hujan deras, anak-anak suka kehujanan. Saya suka bangunin, angkat mereka pindah tempat. Kasihan, kadang sampai nangis,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
BACA JUGA : Mahasiswa Desak Zakiyah-Najib Tolak PIK 2
Ironisnya, selama lima tahun hidup dalam kondisi memprihatinkan, keluarga ini tak pernah sekalipun menerima bantuan dari pemerintah.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Masitoh mengaku kerap menjadi pemulung barang bekas di pinggir sungai.
“PKH enggak dapat, beras juga enggak. Sudah pernah diajukan, tapi enggak ada hasil. Rumah juga enggak pernah disurvei.
Saya paling nyari rongsokan di pinggir sungai buat sekadar jajan anak,” keluh Masitoh.
BACA JUGA : Bank bjb dan PWRI Luncurkan Kartu ATM Co-Branding untuk Pensiunan Indonesia
Di tengah segala keterbatasan, keluarga ini masih menyimpan satu harapan sederhana yaitu mendapatkan sebuah rumah layak huni untuk keluarganya.
“Saya cuma pengin punya rumah yang enggak bocor, biar anak-anak bisa tidur tenang. Enggak kehujanan lagi, enggak ketakutan kalau angin kencang,” ujarnya. (aldi)








