SERANG, BANTEN RAYA – Bantuan dana hibah tahun 2018 yang diterima pengurus pondok pesantren (ponpes) dipotong Rp1,5 juta, tak lama setelah dana tersebut cair. Potongan Rp1,5 juta itu untuk infak pembangunan Sekretariat Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) di Kecamatan Kadu Hejo, Kabupaten Pandeglang.
Hal itu diungkapkan Ketua FSPP Kabupaten Pandeglang Asep Abdullah Mutho saat menjadi saksi dalam sidang kasus pemotongan dana hibah ponpes tahun 2018 dan 2020 yang menyebabkan kerugian negara Rp70 miliar, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Negeri Serang, Senin (13/12/2021).
Pada sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Banten menghadirkan saksi Ketua FSPP Kabupaten Pandeglang Asep Abdullah Mutho, serta saksi ahli kerugian keuangan negara Herno F Mawakimbang.
Sidang tersebut dihadiri kelima terdakwa yaitu mantan Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Setda Provinsi Banten Irvan Santoso, ketua tim evaluasi penyaluran hibah ponpes Toton Suriawinata, honorer di Biro Kesra Banten Agus Gunawan, dari pihak swasta Epieh Saepudin, dan Tb Asep Subhi penerima hibah.
Dalam keterangannya, Ketua FSPP Kabupaten Pandeglang Asep Abdullah Mutho mengakui jika ada potongan uang infak dari seluruh penerima hibah. Hal itu sudah tertuang dalam Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) FSPP Provinsi Banten.
“Dari 2016 sudah ditentukan, Rp100 ribu. Itu ada di AD/ART kami, dan para kiai setuju,” katanya kepada Majelis Hakim yang diketuai Slamet Widodo, disaksikan JPU, kuasa hukum, dan kelima terdakwa, Senin (13/12).
Menurut Asep, pada pencairan hibah dilakukan potongan infak Rp1,5 juta yang diambil oleh Bendahara FSPP Kabupaten Pandeglang. Uangnya digunakan untuk pembangunan sekretariat FSPP Kabupaten Pandeglang. “Itu hasil musyawarah semuanya (penerima hibah dipotong Rp1,5 juta untuk bangun kantor FSPP),” ujarnya membalas pertanyaan kuasa hukum terdakwa.
Selain itu, Asep juga mengakui adanya 8 ponpes penerima hibah tahun 2020 yang bermasalah, karena tidak memenuhi syarat-syarat penerima hibah.
“Pernah, ada pemeriksaan datang ke pondok (pesantren) saya. Kami sebagai FSPP kaget di sana ada masalah. Pada waktu itu kami tidak tahu, setelah pencairan baru tahu. Ada 8 pondok (bermasalah),” jelasnya.
Asep menambahkan, ponpes yang bermasalah di antaranya tidak memiliki santri, dan kegiatannya hanya aktivitas mengaji pada siang dan sore hari.
“Hanya pengajian anak-anak (bermasalah). Pada waktu mengajukan proposal, kami dari kabupaten tidak membantu mereka, hanya informasi. Persyaratan penerima hibah hanya untuk pondok, pengajian Ashar dan Dzuhur. Tidak masuk persyaratan menerima bantuan tersebut,” tambahnya.
Asep mengungkapkan, dari kedelapan ponpes bermasalah diketahui adanya potongan bantuan sebesar Rp50 persen yang dilakukan oleh Epieh Saepudin.
“Dipotong 50 persen, ketika kami tanya tidak memiliki ijop (izin operasional). Waktu di musyawarah kami sebagai pengurus menanyakan ke Epih, tidak ada yang mengaku sama sekali. Setelah desak-desak ada yang WA (mengakui potongan),” ungkapnya.
Asep juga membantah jika FSPP Kabupaten Pandeglang mengkoordinir pembuatan proposal bagi penerima hibah. Pihaknya sebatas hanya memberikan informasi akan adanya bantuan hibah ke anggota FSPP.
“Itu masing-masing pondok (pembuatan proposal), hampir 900 ponpes di Kabupaten Pandeglang. Tidak (melaluinya) masing-masing pondok yang membuat. Hanya sifatnya membantu informasi saja,” tandasnya.
Sementara itu, terdakwa Tb. Asep Subhi membantah keterangan saksi, sebab pembuatan proposal dibantu oleh pengurus FSPP, dan dirinya yang ditunjuk untuk menjadi koordinator.
“Ditunjuk FSPP Banten menjadi koordinator Kabupaten Pandeglang. Makanya saya sangat kaget, FSPP dibilang tidak membantu membuat proposal,” katanya.
Asep mengungkapkan, terkait infak Rp1,5 juta dirinya ikut merumuskan dengan pengurus FSPP Kabupaten Pandeglang. Potongan untuk infak dari dana hibah ponpes untuk menghindari adanya temuan.
“Proses perumusan infak besar kecilnya saya tau sejarahnya. Kita infak dari setiap ponpes penerima hibah. Bahasa infak dikhawatirkan jadi temuan, FSPP ada ADRT Rp100 ribu per bulan. Kita bulatkan Rp1,5 juta. Infak bulanan Rp1,2 juta dan infak sunah Rp300 ribu, saya yang ambil sebagai ketua tim teknis lapangan (TTL),” ungkapnya.
Senada, terdakwa Epih Saepudin mengatakan jika dirinya tidak pernah menerima uang dana hibah. Potongan 50 persen itu merupakan perintah dari honorer di Biro Kesra Provinsi Banten.
“Saya enggak menikmati uang. Kalau soal uang saya disuruh Diki (honorer biro kesra),” katanya.
Hingga berita ini ditulis, sidang kasus dugaan pemotongan dana hibah Ponpes masih berjalan, dan ditunda hingga pukul 19.00. Rencananya kelima terdakwa akan memberikan keterangan dalam sidang kali ini. (darjat/rahmat)