BANTENRAYA.CO.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mendalami dugaan korupsi pembagian kuota tambahan haji tahun 2023–2024 yang dinilai tidak sesuai aturan.
Kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp1 triliun.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa Kementerian Agama diduga tidak menerapkan pembagian kuota sesuai Pasal 64 Ayat 2 UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
“Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, itu tidak sesuai aturan itu, tapi dibagi dua (yaitu) 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus,” ungkap Asep sebagaimana dikutip Bantenraya.co.id dari news.fin.co.id, Selasa, 2 September 2025.
BACA JUGA: Jawaban Gus Yaqut Usai Diperiksa 7 Jam di KPK Terkait Dugaan Korupsi Kuota Haji
“Jadi kan berbeda, harusnya 92 persen dengan 8 persen, ini menjadi 50 persen, 50 persen. Itu menyalahi aturan yang ada,” imbuhnya.
KPK menduga adanya pengaturan kuota secara tidak sah yang berakibat pada penyimpangan dalam pelaksanaan ibadah haji.
Tambahan kuota sebanyak 20.000 dari pemerintah Arab Saudi seharusnya dibagi 92% untuk haji reguler (18.400) dan 8% untuk haji khusus (1.600), namun realisasinya diduga tidak sesuai.
Sebagai bagian dari penyidikan, KPK telah memanggil sejumlah saksi, termasuk mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Yaqut kembali diperiksa pada 1 September 2025 selama tujuh jam.
BACA JUGA: Pemprov Dapat Rapor Merah KPK
“Memperdalam keterangan yang saya sampaikan di pemeriksaan sebelumnya. Jadi, ada pendalaman,” kata Yaqut usai pemeriksaan.
KPK juga telah memeriksa pihak swasta, termasuk pengusaha travel haji Fuad Hasan Masyhur dari Maktour, yang turut memberikan keterangan terkait kuota tambahan.
“Pemeriksaan sangat baik. Itu mengenai bagaimana kuota tambahan. Itu aja, ya. Kami memberikan penjelasan,” ujar Fuad di Gedung Merah Putih KPK, Kamis, 28 Agustus 2025.
Saat ini, KPK terus berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung secara pasti nilai kerugian negara dan telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum.(tohir)***








