Kekerasan Perempuan dan Anak Capai 1.254 Kasus

Kekerasan Perempuan dan Anak Capai 1.254 Kasus

BANTENRAYA.CO.ID – Kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Provinsi Banten semakin mengkhawatirkan.

Menurut data Simfoni Kementerian PPA tahun 2025 ada 1.254 kasus kekerasan pada anak dan perempuan di Provinsi Banten (data sampai dengan 15 Desember 2025).

Dengan jumlah kasus ini, menempatkan Banten di urutan 8 tertinggi nasional dari 38 provinsi di Indonesia

Bacaan Lainnya

Dilihat dari sebarannya di 8 kabupaten kota, jumlah kasus kekerasan pada anak dan perempuan di Provinsi Banten paling tinggi ada di Kota Tangerang Selatan dengan 293 kasus,

BACA JUGA : Workshop Kewirausahaan Peserta ASABRI melalui Program BJB Pra-Purnapreneurship 2025

Kota Tangerang 254 kasus, Kabupaten Tangerang 254 kasus, Kota Cilegon 111 kasus, Kabupaten Serang 100 kasus, Kabupaten Lebak 97 kasus, Kabupaten Pandeglang 83 kasus, dan Kota Serang 62 kasus.

Jumlah kasus kekerasan pada anak dan perempuan di Provinsi Banten tahun 2025 ini adalah yang tertinggi selama 5 tahun terakhir.

Pada tahun 2020 jumlah kasus mencapai 472, tahun 2021 ada 829 kasus, 2022 ada 1.131 kasus, 2023 ada 1.026 kasus, dan tahun 2024 ada 1.114 kasus.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten Hendry Gunawan mengatakan, kenaikan angka kekerasan anak dan perempuan di Provinsi Banten memprihatinkan.

BACA JUGA : Sekda Kota Serang Nanang Saefudin Siagakan 5 OPD Hadapi Nataru

Padahal, selama lima tahun berturut-turut, Banten selalu mendapatkan predikat sebagai provinsi layak anak sampai dengan tahun 2025 ini.

Delapan kabupaten kota di Provinsi Banten juga masuk sebagai kota/ kabupaten layak anak dengan level yang beragam.

Kota Tangerang Selatan mendapatkan predikat kota layak anak tingkat utama (penghargaan tertinggi), Kota Tangerang tingkat nindya, Kabupaten Tangerang tingkat madya,

Kabupaten Lebak tingkat madya, Kota Serang tingkat madya, Kota Cilegon tingkat madya, Kabupaten Serang tingkat madya, dan Kabupaten Pandeglang tingkat pratama.

BACA JUGA : Workshop Kewirausahaan Peserta ASABRI melalui Program BJB Pra-Purnapreneurship 2025

Hendry mengungkapkan, berdasarkan analisis mendalam untuk tiap wilayah berdasarkan data, baik capaian KLA maupun jumlah kasus yang ada, menegaskan bahwa strategi penanganan tidak bisa disamaratakan.

Tangerang Raya (Tangsel, Kota dan Kabupaten Tangerang) dihadapkan pada kompleksitas metropolitan. Maka, fokusnya harus pada pencegahan berbasis data dan kolaborasi lintas batas.

“Kita perlu mendorong pembentukan Satuan Tugas Bersama Tangerang Raya untuk serangkaian pendampingan terpadu, khususnya di sektor informal, permukiman padat, dan dunia maya,” jelasnya.

Untuk Kota Cilegon dan Kabupaten Serang meski angka kekerasannya mendekati antara 111 dan 100 kasus, dan sama-sama berkategori madya pada kota layak anak, namun konteksnya berbeda.

BACA JUGA : Walikota Serang Budi Rustandi Tinjau SDN Banten Indah Permai

Cilegon adalah kota industri, faktor lingkungan kerja orang tua dan mobilitas tinggi perlu jadi perhatian.

Sementara Kabupaten Serang, selain sebagai kabupaten yang memiliki sisi industri, namun juga butuh penguatan di tingkat desa. “Responsnya harus lokal,” katanya.

Untuk Kabupaten Lebak (dengan 97 kasus dan kategori madya), wilayah geografisnya luas. Tantangannya adalah akses dan penjangkauan.

Strategi melalui tokoh adat dan agama, plus layanan patroli keliling yang harus diintensifkan.

BACA JUGA : TK YPWKS IV Cilegon Gelar Father’s Day, Sehari Bersama Ayah yang Penuh Tawa, Pelukan, dan Warna-Warni Kenangan

Adapun Kota Serang (dengan 62 kasus dan kategori madya) menjadi daerah yang menarik. Sebab kategorinya sama dengan yang lain, tapi angka kekerasannya lebih rendah.

“Kita perlu pelajari apa faktor pelindung (protective factors) di sini, bisa jadi dari sisi kultural atau efektivitas program tertentu, untuk kita replikasi,” ujar Hendry.

Kabupaten Pandeglang (dengan 83 kasus dan kategori pratama/ terendah) adalah prioritas mutlak stakeholder yang menangani kasus kekerasan anak dan perempuan.

Angka 83 kasus di Pandeglang dengan kategori pratama sangat mungkin merupakan fenomena gunung es. Bisa jadi masih banyak yang tidak terlapor karena sistemnya masih tumbuh.

BACA JUGA : Empat Perempuan Tertipu Investasi Tambang Pasir Bodong

“Fokus kita di sini adalah pembangunan infrastruktur dasar perlindungan anak: sosialisasi masif, membuka akses pelaporan, dan pelatihan SDM,” tuturnya.

Hendry mengatakan gelar Provinsi Layak Anak harus dimaknai sebagai modal, bukan tujuan akhir.

Provinsi Banten sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) utama untuk perlindungan anak, yaitu Perda Nomor 7 tahun 2024 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak, secara sistem kita sudah cukup banyak kemajuan.

Sekarang, bagaimana mengalirkan kekuatan sistem ini secara tepat sasaran ke setiap kabupaten/ kota sesuai kebutuhannya? Itu tantangan sesungguhnya.

BACA JUGA : 90 Warga Baru Terpapar Radioaktif

“Kita sudah punya peta. Sekarang kita tidak boleh tersesat lagi, Setiap kasus di balik angka-angka ini adalah seorang anak Banten yang memanggil kita.

Mereka tidak butuh penghargaan di atas kertas. Mereka butuh rasa aman yang nyata di rumah, sekolah, dan lingkungannya.

Itulah makna ‘Layak Anak’ yang sesungguhnya, dan untuk itulah kita harus bekerja lebih keras, lebih cerdas, dan bersama-sama,” katanya.

Sementara itu, Kepala DP3AKKB Provinsi Banten Sitti Ma’ani Nina membenarkan bahwa ada peningkatan signifikan pada kasus kekerasan anak dan perempuan.

BACA JUGA : MUI Serukan Perbaikan Hutan Lindung di Banten

Meski begitu, dia memandang hal ini sebagai sesuatu yang positif.

Nina mengatakan, semakin banyak kasus yang terdata, artinya semakin banyak orang yang sadar untuk melaporkan tentang kekerasan yang terjadi pada mereka atau di lingkungan mereka.

Dengan begitu, maka korban anak ditangani secara psikologis dan lainnya, sementara pelaku akan berhadapan dengan aparat penegak hukum.

Nina mencontohkan, tingginya angka kekerasan anak dan perempuan di Kota Tangerang Selatan menunjukkan masyarakat di sana yang terdidik dan melek informasi sehingga mereeka melaporkan setiap kasus kekerasan anak dan perempuan.

BACA JUGA : Privat Kapal Mambruk Bawa Wisawatan ke Pulau Sangiang

Sebab daerah dengan jumlah kasus yang sedikit bisa jadi disebabkan karena korban atau keluarga tidak melaporkan kasus tersebut, misalnya karena menganggapnya sebagai sebuah aib. (tohir)

Pos terkait