Irvan dan Toton Divonis 4,4 Tahun

1 SIDANG HIBAH
PEMBACAAN PUTUSAN - JPU, kuasa hukum dan kelima terdakwa saat mendengarkan putusan di Pengadilan Tipikor Negeri Serang, Kamis (20/1).

SERANG, BANTEN RAYA – Dua mantan Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Banten Irvan Santoso dan Toton Suriawinata divonis 4 tahun dan 4 bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Negeri Serang, dalam sidang kasus dan hibah bantuan sosial (Bansos) pondok pesantren (Ponpes) tahun 2018 – 2020, Kamis (20/1).

Sementara tiga terdakwa lainnya, Epieh Saepudin pihak swasta, Tb. Asep Subhi penerima hibah, divonis 2 tahun penjara, dan Agus Gunawan, honorer di Biro Kesra divonis 1 tahun dan 8 bulan penjara.

Majelis hakim yang diketuai Slamet Widodo mengatakan kelima terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana Pasal 3 jo 18 Undang – Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Bacaan Lainnya

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Irvan Santoso dan Toton Suriawinata dengan pidana selama 4 tahun dan 4 bulan penjara. Terdakwa lainnya Epieh Saepudin, Tb. Asep Subhi divonis 2 tahun dan Agus Gunawan divonis 1 tahun 8 bulan penjara,” kata Majelis Hakim kepada terdakwa disaksikan JPU Kejati Banten, M Yusuf.

Kelima terdakwa juga diberikan pidana tambahan berupa denda Rp50 juta. Jika tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 3 bulan kurungan. Sedangkan terdakwa Epieh Saepudin diharuskan membayar uang pengganti Rp93 juta jika tidak dibayar diganti kurungan penjara selama 1 tahun.

“Hal memberatkan perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah disaat pemerintah melakukan upaya pemberantasan korupsi. Belum mengembalikan hasil korupsi. Hal meringankan memiliki tanggungan keluarga, sopan dalam persidangan dan telah mengembalikan hasil korupsi,” tambahnya.

Dalam putusan pengadilan, hakim menyebut jika Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Provinsi Banten, Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Banten, Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) Banten dan honorer di Biro Kesra Provinsi Banten bernama Diki ikut bersama-sama bertanggungjawab dalam perkara tersebut.

Dalam amar putusan majelis hakim, perbuatan Irvan dan Toton telah memenuhi unsur penyalahgunaan kewenangan. Karena dalam pembahasan anggaran bantuan hibah 2018, dan begitu pula dengan tahun 2020 terdakwa Irvan, Tonton masuk dalam OPD unit kerja pengusul, dan selama proses persidangan tidak ditemukan fakta penolakan.

Dalam pencairan, Biro Kesra selaku pelaksana hibah telah mengajukan pencairan ke BPKAD, padahal sebelumnya telah terjadi persoalan. Namun pihak BPKAD tidak melakukan penolakan perbaikan, atas dokumen, sehingga pencairan terjadi.

Kemudian, sebagaimana fakta bersidang, Epieh Saefudin melakukan pemotongan uang bantuan hibah. Dari delapan ponpes itu, terdakwa mendapat jumlah uang Rp180 juta.

Perbuatan terdakwa Epieh merupakan suatu rangkaian dengan terdakwa Irvan dan Tonton Dengan demikian terhadap perbuatan terdakwa, terdapat unsur menyalahgunakan kewenangan dan kesempatan karena jabatan dan kedudukan.

Selanjutnya, terdakwa Epieh mengatakan bahwa yang memotong adalah Diki (Honorer Biro Kesra) yang hari ini tidak ditangkap, sehingga terdakwa Epieh menjadi korban. Dalam pembelaannya selanjutnya memohon maaf.

Terdakwa Epieh mengembalikan uang Rp120 juta, tapi meminta Diki yang menggantinya. Menimbang fakta persidangan, ada inisiasi dilakukan pemotongan hibah delapan ponpes diinisiasi oleh Diki. Kemudian uang hasil pemotongan diserahkan kepada Diki oleh terdakwa Epieh.

Menimbang, Diki turut berperan, dan sudah sepatutnya mempertanggungjawabkan pemotongan 8 ponpes, tidak hanya dibebankan terdakwa Epieh tapi juga terdakwa Asep Subhi yang dimintai pertanggungjawabannya.

Sebagaimana fakta persidangan, terdakwa Asep Subhi merupakan pengurus FSPP dan operator pesantren, yang ditugaskan oleh FSPP Pandeglang mendekati pondok salafi di Pandeglang. Sebagaimana perbuatan terdakwa tidak lepas, dari pengurus ponpes dan FSPP, sehingga unsur penyalahgunaan kewenangan sudah terpenuhi.

Perbuatan terdakwa Asep memotong 11 bantuan hibah Ponpes di Pandeglang bukan imbalan jasa, tapi ketidaktahuan ponpes salafi dalam pemenuhan dokumen hibah. Pembuatan terdakwa Asep yaitu membuat komitmen 40-60 persen.

Dalam fakta, terdakwa Asep memperoleh Rp104 juta. Dana hibah dari APBD Provinsi Banten tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya adalah merupakan tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, terdakwa Agus Gunawan merupakan tenaga harian lepas, untuk diperbantukan Biro Kesra dalam melakukan verifikasi, setelah proposal dari Diki dan Oktarina Sari selaku tim verifikasi di Biro Kesra.

Perbuatan terdakwa Asep tidak lepas dari kedudukan TKS untuk membantu honorer dalam verifikasi hibah tahun 2020. Sehingga perbuatannya telah memenuhi unsur menyalahgunakan kewenangan jabatan dan kedudukan.

Terkait pemberian hibah uang ke FSPP Provinsi Banten tahun 2018 sebesar Rp65 miliar, majelis hakim tidak sependapat dengan kerugian negara olah JPU. Dimana majelis hakim melakukan penghitungan sendiri.

Berdasarkan keterangan saksi dalam persidangan yaitu Fadlullah, Wawan Gunawan, Ending Irawan, Eman Suherman, Abdullah bahwa telah dilakukan pemindahan uang bantuan hibah dari rekening FSPP ke rekening pesantren pada tahun 2018 tersebut.

Keterangan tersebut bila dihubungkan dengan keterangan saksi meringankan atau a de charge, yaitu Abdul Hakim, Syihabudin Milhayudi, telah dilakukan pemindahan buku ke rekening ponpes, apakah dalam hal ini kepentingan umum, telah terlayani dari hibah.

Majelis berpendapat sudah terpenuhi layanan hibah di tahun 2018. Namun bantuan hibah sudah sesuai dengan yang dianggarkan. Hal itu jadi pertimbangan dalam menghitung kerugian negara. Dimana pendapat ahli, bahwa FSPP tidak berhak mendistribusikan hibah ke pesantren.

Tidak boleh uang tersebut dikirim ke rekening FSPP terlebih dahulu, sehingga dengan dasar itulah dalam menghitung dengan total los artinya dianggap hilang. Namun hakim tidak sependapat ahli. Bahwa telah nyata, bantuan hibah ke pesantren dan telah digunakan.

Pelaksanaan bantuan hibah tahun 2018, telah dimuat di Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) 2018. Terdapat uraian hibah untuk 3.664 Ponpes dikali Rp 20 juta, dengan total Rp66 miliar, dan dalam penjabarannya yaitu Rp65 miliar untuk ponpes dan FSPP 1 miliar.

Majelis menimbang FSPP harusnya mendapat operasional Rp1 miliar, tapi menerima Rp3 miliar, sehingga selisihnya menguntungkan Rp 2,8 miliar, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh FSPP sebanyak 543 pesantren, atau sebanyak Rp11 miliar menjadi beban FSPP, dan 43 pesantren Rp180 juta telah dikembalikan FSPP kepada negara.

Dengan demikian kerugian negara yaitu uang tidak seharusnya Rp 2,8 miliar, ditambah pemberian hibah 593 ponpes, tidak dapat dipertangungjawabkan Rp11 miliar. Sehingga total kerugian negara hibah tahun 2018 adalah Rp14,1 miliar.

Selanjutnya, terkait kerugian hibah ke pesantren tahun 2020, sebesar Rp5 miliar. Majelis hakim juga tidak sependapat. Dari fakta unsur menguntungkan diri sendiri, calon penerima hibah tahun 2020 adalah ponpes telah dipertimbangkan.

Terdakwa Asep menerima 120 juta dari Kecamatan Labuan, uang itu telah dikembalikan ke pesantren dengan cara ditransfer sebagaimana saksi dari pimpinan ponpes penerima hibah.

Bahwa terdakwa Asep mendapatkan uang Rp104 juta dari pemotongan hibah uang dari 11 pesantren. Sejumlah uang diserahkan dari terdakwa Asep kepada terdakwa Agus sebesar Rp8 juta, dan uang Rp8 juta tersebut telah dikembalikan ke penyidik.

Majelis hakim berpendapat bahwa kerugian negara terjadi karena penerima hibah tidak terdata di Emis dan tidak menerima izin operasional (Ijop). Majelis berpendapat dalam kerugian hibah 2020 yaitu keseluruhannya Rp 5,2 miliar.

Usai pembacaan putusan, JPU Kejati Banten dan kelima terdakwa masih belum memberikan keputusan atas vonis majelis hakim tersebut.”Pikir-pikir,” kata JPU dan kelima terdakwa. (darjat)

 

 

Pos terkait