Jadi Salah Satu Hari Besar Agama Islam, Bagaimana Hukum Merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW? Ini Kata MUI

Hukum merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. (Freepik)
Hukum merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. (Freepik)

BANTENRAYA.CO.ID – Perayaan muludan adalah satu acara besar setiap tahunnya. Lalu, bagaimana hukum merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW sebenarnya?

Maulid Nabi Muhammad SAW adalah hari di mana Rasulullah lahir yaitu pada 12 Rabiul Awal di Tahun Gajah.

Dalam kalender hijriyah, Rabiul Awal merupakan bulan ketiga dalam urutan setelah Muharram. Bulan tersebut merupakan bulan yang dirahmati Allah SWT karena lahirnya nabi terakhir.

Bacaan Lainnya

Nabi Muhammad SAW merupakann suri tauladan bagi seluruh umat di seluruh alam. Perilaku, sifat dan sikapnya patut dicontoh.

BACA JUGA: Contoh Format Surat Undangan Acara Maulid Nabi Muhammad SAW, Bisa Dicetak atau Kirim Via Pesan Online

Setiap tahun, umat muslim di Indonesia merayakan hari kelahiran Rasulullah dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW atau dikenal dengan muludan.

Hari lahirnya Kekasih Allah SWT itu juga termasuk salah satu Hari Besar Agama Islam sehingga menjadi hari libur nasional setiap tahunnya.

Berbagai perayaan seperti ceramah, sholawat berjamaah, lomba-lomba, pawai dan berbagai kegiatan lainnya disemarakkan pada hari tersebut.

Namun beberapa orang banyak mempertanyakan terkait hukum merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW.

BACA JUGA: Contoh Rangkaian Susunan Acara Maulid Nabi Muhammad SAW Singkat dan Lengkap Tahun 2023

Dikutip Bantenraya.co.id dari laman Majelis Ulama Indonesia, di sana dijelaskan bahwa hukum merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah boleh dan termasuk bid’ah hasanan.

Bid’ah hasanah adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi maupun para sahabatnya namun perbuatan itu memiliki nilai kebaikan dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Dibolehkannya merayakan hari kelahiran nabi juga didasari dari sebuah hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah juga merayakan hari lahirnya dengan berpuasa.

عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ” : فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ .” رواه مسلم

“Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (H.R. Muslim).

Berbagai pendapat ulama yang mendukung hukum tersebut yaitu pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: “Bid’ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah saw”.

Kemudian ditambah pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi) yang mengatakan, ”Termasuk hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah SAW dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah SAW. dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah SAW kepada seluruh alam semesta”.

Kendati demikian perlu diperhatikan agar perayaan Maulid Nabi tidak melenceng dari aturan agama. Beberapa etika di bawah ini perlu diikuti:

  • Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW;
  • Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah SWT;
  • Membaca sejarah Rasulullah SAW dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan beliau;
  • Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin;
  • Meningkatkan silaturrahim;
  • Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran Rasulullah SAW di tengah-tengah kita;
  • Mengadakan pengajian atau majlis ta’lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan mensuritauladani Rasulullah SAW;

***

Pos terkait