BANTENRAYA.CO.ID – Raden Adjeng Kartini atau lebih sering dikenal dengan nama RA Kartini merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia, ia dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita pribumi kala itu.
RA Kartini wanita yang lahir di Jepara, 21 April 1879 ini berasal dari keluarga priyayi atau bangsawan Jawa.
RA Kartini ia adalah putri dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M. A. Ngasirah sang ibu merupakan istri pertama namun bukan yang utama.
Kala itu, sang ayah merupakan seorang Wedana (kepala wilayah administrasi kepemerintahan di antara kabupaten dan kecamatan).
BACA JUGA: 4 Rekomendasi Hotel Murah di Kota Serang, Dengan Fasilitas Terbaik Harga Mulai Rp100 Ribuan
Ada kebijakan dari pemerintah Belanda, jika ingin menjadi bupati, maka ayah Kartini harus menikah dengan keturunan priyayi juga.
Sementara M. A. Ngasirah hanyalah orang biasa ibunya Kartini itu merupakan anak dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, yang merupakan guru agama di Telukawur, Jepara.
Sedangkan sang ayah masih berada di garis keturunan Hamengkubuwono VI.
Karena situasi keluarga yang seperti itu, ayah Kartini pun memutuskan untuk menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan yang merupakan keturunan langsung dari Raja Madura.
BACA JUGA: Pemprov Banten Guyur Kormi Banten Rp3 Miliar, karena Alasan Ini
RA Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara yang terdiri dari saudara kandung dan saudara tirinya.
RA Kartini ia mendapatkan kesempatan sekolah bagus.
RA Kartini menempuh pendidikan di ELS (Europese Lagere School) hingga usianya 12 tahun. Setelah itu, ia dipingit di rumah.
Karena pada masa itu ada tradisi wanita Jawa harus tinggal di rumah dan dipingit.
BACA JUGA: 15 Kata-kata Bijak dari Buya Hamka Penuh Motivasi dan Semangat, Anak Muda Tanah Air Wajib Baca Nih!
Selama sekolah di ELS, Kartini belajar Bahasa Belanda.
Karena bisa berbahasa Belanda tersebut, di rumah pun Kartini tetap belajar dan berkirim surat kepada teman-teman korespondensi dari Belanda salah satunya Rosa Abendanon dan Estelle “Stella” Zeehandelaar.
Bahkan, beberapa kali tulisan Kartini dimuat dalam majalah De Hollandsche Lelie.
Dari sanalah timbul keinginannya untuk memajukan para perempuan pribumi yang dinilai masih memiliki tingkat sosial yang rendah.
Karena kondisinya dipingit, tak banyak kegiatan yang bisa dilakukan Kartini di luar rumah.
Namun, bukan berarti dia berdiam diri, aktivitas surat-menyurat Kartini menjadi senjata perjuangannya.
Surat-surat yang ditulisnya lebih banyak berisi keluhan-keluhan tentang kehidupan wanita pribumi khususnya Jawa yang sulit untuk maju.
Salah satunya seperti kebiasaan wanita harus dipingit, tidak bebas menuntut ilmu, dan juga adat yang mengekang kebebasan perempuan.
RA Kartini menginginkan emansipasi, seorang perempuan harus memperoleh kebebasan dan kesetaraan baik dalam kehidupan maupun di mata hukum.
RA Kartini juga mengungkit isu agama seperti poligami dan alasan mengapa kitab suci harus dihapal dan dibaca tapi tidak perlu dipahami.
Bahkan, ada kutipan dari Kartini yang berkata, “Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu.”
Ketika ia menginjak usia 20 tahun, Kartini membaca buku-buku karya Louis Coperus (De Stille Kraacht), Van Eeden, Augusta de Witt, Multatuli (Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta) serta berbagai roman-roman beraliran feminis semuanya menggunakan bahasa Belanda.
BACA JUGA: BARU UPDATE! Kode Redeem FF Free Fire 16 April 2023, Hadiah Menarik Siap Ditarik untuk Booyah
Tinggal di Jepara membuat Kartini merasa tidak begitu berkembang.
Dengan fasilitas yang dimiliki keluarga, ia pun ingin melanjutkan sekolah ke Jakarta atau ke Belanda.
Tapi orangtuanya tidak mengizinkannnya meskipun tidak melarangnya untuk menjadi seorang guru.
Kartini pun mengurungkan niatnya dan tetap menjalani hidupnya di Jepara.
BACA JUGA: Tol Cisumdawu Dioperasikan Secara Fungsional, Tak Ada Penerangan dan Rest Area
Pada usia 24 tahun, ia diminta orangtuanya untuk menikah, RA Kartini menyetujui dan menikah dengan K. R. M.
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, 12 November 1903.
Suaminya adalah Bupati Rembang yang telah memiliki 3 istri.
Meski sudah menjadi istri, Kartini tetap bersemangat ingin menjadi guru dan mendirikan sekolah.
BACA JUGA: WEEKEND! Jadwal Film di Bioskop XXI Cilegon Center Mall Hari Ini Pada 15 April 2023
Keinginan Kartini disambut baik suaminya RA Kartini memperoleh kebebasan dan didukung untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Setahun menikah, Kartini dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904.
Namun, empat hari setelah melahirkan, ajal menjemputnya.
RA Kartini meninggal pada 17 September 1904 dalam usia 25 tahun ia dimakamkan di Desa Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
BACA JUGA: Teks Puisi Tema Idul Fitri 2023 Menyentuh Hati, Cocok Untuk Dikirim Ke Orang tersayang
Meski sudah meninggal, perjuangan Kartini lewat surat-suratnya memiliki arti penting bagi kedudukan wanita Indonesia. Salah satunya, buku ““Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Berkat jasanya, RA Kartini ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada era pemerintahan Soekarno dengan dasar hukum Keppres No.108 Tahun 1964 yang ditetapkan pada 2 Mei 1964 dan menetapkan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini.
Itulah kutipan singkat tentang perjalanan RA Kartini yang di juluki sebagai wanita hebat di pribumi dengan julukan “Habis gelap terbitlah terang”.***