Oleh : Alvin Rasya Dwiansyah, mahasiswa Universitas Pamulang Serang
Sadarkah kalian, seiring berkembangnya teknologi AI (Artifical Inteligence) membawa banyak pengaruh pada berbagai bidang, salah satu nya pada bidang Pendidikan. Namun pernahkah terpikirkan pengaruh Artifical Inteligence (AI) Pada bidang Pendidikan terutama pada pelajar? Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam dunia pendidikan telah menciptakan perdebatan global: apakah AI akan merevolusi cara belajar-mengajar menjadi lebih efektif, atau justru mengikis nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan? Jawabannya tidak sesederhana “ya” atau “tidak”, melainkan memerlukan pemahaman yang seimbang antara potensi dan tantangan AI.
AI menghadirkan efisiensi luar biasa bagi dunia pendidikan. Guru kini tidak lagi harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksa tugas dan menyusun materi pembelajaran. Dengan bantuan AI seperti ChatGPT atau Google Gemini, guru di AS dilaporkan dapat menghemat rata-rata 6 jam per minggu, menurut laporan Associated Press (2024). Ini berarti waktu yang semula digunakan untuk pekerjaan administratif kini bisa dialihkan untuk fokus pada interaksi dengan siswa.
Tak hanya guru, siswa juga diuntungkan. Platform pembelajaran adaptif berbasis AI seperti Khanmigo, Socratic, atau Duolingo Max mampu menyesuaikan materi sesuai kemampuan dan gaya belajar masing-masing siswa. “Sebuah studi di Nigeria menunjukkan bahwa siswa yang belajar menggunakan AI mengalami kemajuan setara dua tahun pembelajaran tradisional hanya dalam 6 minggu”.
Namun, seperti dua sisi mata uang, AI juga menghadirkan ancaman nyata. Salah satunya adalah ketimpangan akses. Di negara berkembang, penggunaan AI seringkali terbatas hanya bagi siswa di kota besar atau keluarga berpenghasilan menengah ke atas. Hal ini berpotensi memperlebar jurang pendidikan antara yang mampu dan yang tidak.
Lebih dari itu, 87% guru di dunia belum mendapatkan pelatihan formal mengenai pemanfaatan AI di kelas, menurut data dari Education Week (2025). Tanpa bimbingan dan pemahaman yang tepat, penggunaan AI bisa keliru dan malah menyesatkan. Belum lagi isu privasi data siswa dan potensi bias algoritma yang dapat merugikan kelompok tertentu.
Meski AI dapat membantu menyampaikan informasi dengan cepat, ada satu hal yang tidak bisa ia gantikan: nilai-nilai kemanusiaan dalam proses belajar-mengajar. Empati, inspirasi, dorongan semangat, dan kepekaan sosial adalah kualitas manusia yang tak bisa dimodelkan oleh algoritma mana pun.
AI seharusnya bukan pengganti guru, melainkan alat bantu. Guru tetap berperan penting sebagai fasilitator, mentor, dan panutan yang membentuk karakter siswa. Oleh karena itu, pengembangan AI dalam pendidikan harus diarahkan untuk memperkuat peran manusia, bukan menghapusnya.
Kesimpulan akhirnya AI adalah alat yang luar biasa, tetapi seperti pisau bermata dua, penggunaannya harus penuh kesadaran. Jika digunakan dengan bijak dan adil, AI bisa menjadi mitra strategis dalam menciptakan sistem pendidikan yang lebih cerdas, inklusif, dan relevan dengan zaman. Namun, jika dibiarkan tanpa pengawasan, AI bisa memperbesar ketimpangan dan merusak nilai-nilai dasar pendidikan.
Pendidikan masa depan bukan hanya soal teknologi yang canggih, tapi tentang bagaimana kita tetap menjadi manusia yang bijak dalam menggunakannya. ***