BANTENRAYA.CO.ID – Pemberontakan besar yang dikenal sebagai Geger Cilegon atau Pemberontakan Petani Banten 1888 menjadi salah satu bab penting dalam sejarah perlawanan rakyat terhadap kolonialisme Belanda.
Peristiwa yang dipimpin oleh ulama karismatik Ki Wasid ini meletus bukan secara tiba-tiba, tetapi sebagai hasil dari tumpukan penindasan sosial, ekonomi, politik, dan keagamaan yang berlangsung selama masa penjajahan Belanda.
Akademisi UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Ade Jaya Suryani, menegaskan bahwa pemberontakan tersebut merupakan respons rakyat terhadap sistem kolonial yang menindas kehidupan masyarakat Banten setelah runtuhnya Kesultanan Banten pada 1813.
Pemberlakuan pajak yang berat, praktik kerja paksa, dan kebijakan yang menekan ajaran Islam menjadi pemicu kemarahan rakyat pada penguasa kolonial.
BACA JUGA : Lampu Hias di Jalur Protokol Kota Cilegon Banten Yang Rusak
“Geger Cilegon menjadi simbol perlawanan rakyat Banten terhadap ketidakadilan kolonial dan upaya mempertahankan martabat Islam,” ujar Ade Jaya Suryani, Minggu (9 November 2025).
Menurutnya, struktur pemerintahan kolonial menggantikan tatanan tradisional di Banten yang sebelumnya dipimpin seorang sultan.
Pada masa kolonial, para pejabat pribumi seperti patih dan jaksa dianggap bersekongkol dengan Belanda dan menjadi alat penindasan terhadap rakyat.
Akhirnya, para “londo ireng” ini pun menjadi sasaran amukan rakyat saat Geger Cilegon.
BACA JUGA : Huruf D Masjid Agung Ats-Tsauroh Kota Serang Hilang
“Perlawanan lahir dari ketidakadilan. Pemberontakan ini menunjukkan bahwa penindasan ekonomi, politik, dan agama pada akhirnya menimbulkan perlawanan rakyat.
Pajak berat, kerja paksa, serta pelecehan terhadap ajaran Islam menimbulkan kemarahan yang lama terpendam. Ketika saluran keadilan tertutup, pemberontakan menjadi satu-satunya jalan yang mereka rasa mungkin,” kata Ade.
Ketika rakyat hidup dalam situasi yang serba tertekan, muncul tokoh-tokoh religius yang menjadi motor perlawanan.
Hadji Wasid atau yang lebih dikenal sebagai Ki Wasid, bersama Hadji Tubagus Ismail dan Hadji Iskak membentuk jaringan kiai dan tarekat.
BACA JUGA : Presiden RI Prabowo Resmikan Pabrik PT Lotte Chemical di Cilegon
Mereka tergabung dalam tarekat Qadiriyah, yang pada masa itu tidak hanya menjadi wadah spiritual, tetapi juga menjadi jaringan sosial-politik rakyat kecil.
Ki Wasid memandang bahwa penindasan terhadap rakyat dan pelecehan terhadap ajaran Islam merupakan ancaman terhadap umat.
Ia menyerukan perang sabil atau perang suci untuk menegakkan kembali martabat agama dan keadilan sosial. Perang ini dialamtkan kepada para pejabat Belanda kafir.
“Beberapa tahun sebelum pemberontakan, ia (Ki Wasid) berhasil memanfaatkan suasana kebangkitan religius untuk menyatukan kekecewaan rakyat terhadap pajak, kerja paksa, dan pelecehan terhadap Islam menjadi gerakan jihad melawan penjajahan.
BACA JUGA : Huruf D Masjid Agung Ats-Tsauroh Kota Serang Hilang
Ia menghubungkan penderitaan sosial dengan tanggung jawab religius, menyerukan perang sabil melawan ‘penguasa kafir’ Belanda,” jelas Ade.
Malam sebelum hari pemberontakan, ratusan pengikut Ki Wasid berpakaian serba putih berarak di jalan-jalan sambil berzikir dan menabuh rebana.
Arakan tersebut menjadi simbol kesucian dan tekad suci untuk melawan penjajahan. Ketika fajar menyingsing, pasukan rakyat langsung menyerang rumah-rumah pejabat kolonial dan aparat pribumi.
Serangan pertama terjadi di rumah Dumas, pegawai kantor asisten residen, sebelum menyebar ke berbagai titik di Cilegon dan sekitarnya.
BACA JUGA : Lampu Hias di Jalur Protokol Kota Cilegon Banten Yang Rusak
Serangan mendadak tersebut sempat membuat pasukan kolonial kewalahan. Beberapa pejabat Belanda tewas, dan sejumlah kantor pemerintahan hancur diserbu massa.
Namun, keunggulan militer Belanda segera membalik keadaan. Dengan dukungan senjata modern dan pasukan dari Batavia, pemberontakan berhasil dipadamkan dalam waktu singkat.
Ki Wasid dan para pengikutnya melarikan diri ke arah timur. Dalam catatan Belanda, ia akhirnya gugur di sebuah tempat bernama Medang Batu, yang kini disebut Arjawinangun.
Lokasi itu diduga berada di sekitar wilayah Cilegon masa kini, meskipun belum ditemukan bukti pasti.
BACA JUGA : Empat Siswa MTsN 2 Cilegon Sabet Juara Silat Dandim Cilegon
Meski gagal secara militer, pemberontakan tersebut mengguncang fondasi kekuasaan kolonial di Banten.
Pemerintah Belanda memperketat pengawasan terhadap kegiatan keagamaan dan membatasi pergerakan para kiai tarekat yang dianggap berpotensi memberontak.
Siapa Ki Wasid?
Ade menjelaskan, dalam buku “The Peasants’ Revolt of Banten in 1888” karya Sartono, Ki Wasid atau Hadji Wasid adalah ulama karismatik asal Grogol, Cilegon, yang menjadi tokoh utama dalam meletusnya pemberontakan petani Banten pada Juli 1888.
BACA JUGA :Pengusaha Tambang Kecewa Tak Dilibatkan
Ia lahir sekitar tahun 1840-an dan dikenal sebagai guru agama dengan kepribadian kuat, keras, dan temperamental, serta memiliki kecenderungan pada mistisisme.
Ia berasal dari keluarga pemberontak: ayahnya, Abas, pernah terlibat dalam pemberontakan Hadji Wakhia pada 1850, dan keluarganya dikenal dekat dengan para pemimpin perlawanan lokal.
Peran Ki Wasid sangat penting, baik dari sisi ideologis maupun organisatoris. Ia mengaitkan penderitaan rakyat akibat pajak tinggi dan kerja paksa dengan penindasan terhadap Islam.
Dengan khotbah-khotbahnya, ia menanamkan keyakinan bahwa melawan penjajahan adalah bagian dari kewajiban agama.
Selain itu, Ki Wasid juga dikenal sebagai penggerak jaringan dakwah lintas daerah. Ia melakukan perjalanan ke Batavia, Bogor, Bandung, dan Cirebon untuk memperluas pengaruh dan menggalang dukungan.
Ziarahnya ke makam Sunan Gunung Jati di Cirebon disebut-sebut menjadi momentum spiritual sebelum perlawanan dilancarkan.
Menurut Ade, karisma Ki Wasid membuatnya dihormati dan diikuti banyak orang, namun juga membawa risiko besar.
Lebih dari satu abad kemudian, Geger Cilegon tetap menjadi peristiwa penting dalam perjalanan sejarah bangsa.
BACA JUGA : Horison Ultima Ratu Serang, Hotel Favorit Club Sepakbola
Dari peristiwa itu, terlihat bahwa ketidakadilan sosial, penindasan ekonomi, dan tekanan terhadap kebebasan beragama dapat memicu ledakan perlawanan rakyat.
Ade menilai bahwa pemberontakan ini memberikan beberapa pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia modern.
“Pertama, perlawanan lahir dari ketidakadilan yang terus dibiarkan.
Kedua, agama bisa menjadi sumber moral dan solidaritas sosial. Dan ketiga, kepemimpinan karismatik harus diimbangi dengan strategi yang matang sehingga tidak menimbulkan banyak korban,” tuturnya.
BACA JUGA : Hasbi Tantang Pedagang Jadi Bupati Sebulan
Ia menambahkan, semangat religius yang lahir dari Geger Cilegon telah menjadi inspirasi bagi pergerakan-pergerakan nasional berikutnya hingga kemerdekaan Indonesia.
Walau gagal secara militer, Ki Wasid dan para pengikutnya telah menanamkan nilai keberanian dan martabat.
“Geger Cilegon menjadi simbol keberanian rakyat Banten mempertahankan martabat, iman, dan harga diri.
Semangat religius dan solidaritas sosial yang lahir darinya menginspirasi perjuangan-perjuangan berikutnya menuju kemerdekaan,” ujar Ade.
Kini, nama Ki Wasid diingat sebagai simbol keberanian rakyat Banten dalam melawan penindasan kolonial.
Semangatnya terus hidup dalam narasi sejarah lokal dan nasional.
Pemberontakan yang terjadi 137 tahun silam itu bukan sekadar kisah kekerasan, tetapi juga kisah keyakinan dan idealisme bahwa keadilan harus diperjuangkan, meski dengan taruhan nyawa.
“Ki Wasid dikenang sebagai simbol perjuangan Islam dan keberanian rakyat Banten melawan penindasan kolonial,” tutup Ade. (tohir)








