SERANG, BANTEN RAYA- Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) Kabupaten Serang angkat bicara terkait putusan kasasi pada kasus korupsi hibah uang untuk pondok pesantren (ponpes) yang menyatakan bahwa FSPP Provinsi Banten agar bertanggung jawab mengganti kerugian negara Rp14,1 miliar. Dewan Penasehat FSPP Kabupaten Serang Muhsinin menilai, pertimbangan putusan kasasi tersebut dianggap salah sasaran.
Muhsinin berpendapat, pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya kerugian keuangan negara tersebut adalah Wahidin Halim (yang saat itu menjabat Gubernur Banten), Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Biro Kesra Provinsi Banten, dan pimpinan pondok pesantren penerima bantuan hibah.
“Termasuk yang mengeluarkan kebijakan (pemberi hibah) dipertanggungjawabkan. Yang mengeluarkan, meng-ACC (menyetujui) juga harus mempertanggungjawabkan, tim TAPD dong, di dinasnya Biro Kesra, terutama WH,” kata Muhsinin kepada awak media saat ditemui di kantor DPRD Provinsi Banten, Rabu (25/1/2023).
Muhsinin yang merupakan anggota DPRD Banten ini menjelaskan, terjadinya permasalahan hibah ponpes tahun 2018 dan 2020 dilatarbelakangi adanya kebijakan yang salah. Sehingga persoalan tersebut menjadi temuan di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten.
“Kebijakannya siapa? Biro Kesra tidak ada apa-apanya kalau tidak ada kebijakan, kalau tidak di-ACC dari WH (Gubernur Banten Wahidin Halim). Jangan disudut pandangkan ke FSPP saja yang bertanggung jawab,” jelasnya.
Politisi partai Golongan Karya (Golkar) itu juga mengaku prihatin penyaluran hibah ponpes tahun 2018 dan 2020 terlalu dipaksakan. Padahal, itu melanggar aturan dan tidak sesuai dengan prosedur. “Pejabat terkait provinsi yang harus tanggung jawab juga, kenapa ini menyalahi aturan, tidak sesuai prosedur dilaksanakan saja, dikeluarkan saja uang itu,” tegasnya.
Muhsinin menambahkan, dirinya bukan membela FSPP dalam perkara tersebut. Namun dalam pandangannya, FSPP hanya menjadi penyalur dana hibah kepada ribuan ponpes di Provinsi Banten. Jika terjadi masalah, maka ponpes lah yang harus mengembalikan.
“Saya bukan membela forumnya, tapi keadilannya. Yang menerima bantuan hibah itu ketua-ketua ponpes. Menurut saya keliru (pertimbangan putusan kasasi), kalau disudut pandangkan ke forumnya, bukan individu ketua ponpesnya. Iya pimpinan ponpes disudut pandangkan kesitu, karena yang menerima bantuan kan bukan forum,” tambahnya.
Kuasa hukum FSPP Provinsi Banten Wahyudi mengatakan, dirinya masih melakukan komunikasi dengan Presidium FSPP Provinsi Banten. Rencananya pada Kamis (26/1/2023), pihaknya akan mengundang awak media untuk mengklarifikasi putusan kasasi kasus hibah ponpes 2018 dan 2020. “Besok kita akan udang, hari ini (kemarin) saya masih melakukan komunikasi dengan presidium,” katanya singkat.
Terpisah, Kasi Intel Kejari Serang Rezkinil Jusar mengatakan, terkait pertimbangan kasasi kasus hibah ponpes 2018 dan 2020 yang menyatakan FSPP Provinsi Banten diharuskan mengembalikan kerugian negara Rp14,1 miliar, Jaksa Penuntut akan mempelajarinya kembali. Namun saat ini kejaksaan hanya akan melakukan eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA).
“Kewajiban JPU mengeksekusi (amar putusan), apabila pertimbangan (isi pertimbangan FSPP bertanggung jawab) akan dipelajari, kemudian tentunya didiskusikan dan dilaporkan ke pimpinan,” katanya.
Rezkinil menambahkan, pihaknya tidak semena-mena dalam menindaklanjuti pertimbangan putusan tersebut. Sebab, tidak tercantum dalam putusan. “Ditelaah dan pelajari dulu,” tambahnya.
Sebelumnya, dalam pertimbangan amar putusan tersebut, MA berpendapat bahwa alasan kasasi penuntut umum dan terdakwa Irvan Santoso tidak dapat dibenarkan karena hakim tidak salah menerapkan hukum.
Berdasarkan saksi, ahli, para terdakwa di persidangan diperoleh fakta bahwa Irvan Santoso selaku Kepala Biro Kesra dan terdakwa II Toton Suriawinata sebagai Ketua Tim Evaluasi dalam kegiatan hibah ke FSPP tahun 2018 dan 2020 ke ponpes tidak melaksanakan tugas sebagaimana kewenangan.
Irvan dan Toton juga tidak melakukan evaluasi terhadap proposal permohonan hibah dari pondok pesantren, dan tidak melakukan survei ke lapangan tetapi menerima data dari FSPP. Terdapat penerima hibah yang tidak ada di aplikasi data EMIS. Termasuk pesantren yang tidak memiliki izin operasional (IJOP) Kementerian Agama.
Selain FSPP Provinsi Banten, TAPD hingga Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Banten terseret dalam kasus korupsi hibah untuk ponpes tahun 2018 senilai Rp 66,280 miliar tersebut. Dalam pertimbangan disebutkan jika tim TAPD tidak melakukan penolakan, atas nota dinas yang dibuat terdakwa II atau Toton Suriawinata sebagai Ketua Tim Evaluasi dalam kegiatan hibah ke FSPP tahun 2018 dan 2020.
Sebab, tidak ditemukan fakta adanya penolakan, perbaikan atau penyempurnaan nota dinas dari terdakwa II yang menjadi dasar TAPD untuk menetapkan anggarannya. Sehingga Biro Kesra tidak mengetahui bagaimana proses pembahasan usulan anggaran yang telah disampaikan kepada TAPD. Disebutkan juga, dalam proses pencairan Biro Kesra selaku pelaksana kegiatan bantuan hibah uang telah mengajukan permohonan pencairan kepada BPKAD selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD).
Sehingga, terjadi kesalahan dalam dokumen pencairan, namun pihak BPKAD sama sekali tidak penah melakukan penolakan, perbaikan atau penyempurnaan atas dokumen pencairan yang diusulkan oleh Biro Kesra, sehingga terjadi pengeluaran atas beban yang tidak seharusnya.
Hal itu berakibat terjadinya kerugian keuangan negara, dalam kegiatan penyaluran hibah uang kepada ponpes di Provinsi Banten yang menguntungkan terdakwa ll (Toton), terdakwa IV (Asep) dan terdakwa V (Agus Gunawan). (darjat)