Hukum Puasa Syawal Jika Sedang Bertamu dan Ditawari Makan, Ternyata Ini yang Harus Dilakukan

Lebaran Idul Fitri
Ilustrasi: Hukum puasa syawal jika sedang bertamu dan ditawari hidangan, ternyata ini yang utama dilakukan. (Pixabay/ambroo)

BANTENRAYA.CO.ID – Menjalani Puasa Syawal tentu berbeda secara konsidi dengan Puasa Ramadhan.

Saat Puasa Syawal karena suasananya masih lebaran maka akan cukup sulit.

Terlebih jika seseorang menjalani Puasa Syawal dan masih bertamu ke rumah-rumah sanak saudara sesama muslim.

Lantas bagaimana hukumnya jika sedang mengerjakan Puasa Syawal tapi ditawari makan?

Bagaimana Rasulullah memberikan teladan jika kondisi tersebut terjadi?.

BACA JUGA: Pemudik Kereta Api Jangan Bayar Lagi Ongkos Angkot Cilegon Merak, ASDP Ternyata Sudah Siapkan Ini

Dalam artikel ini bisa dijadikan referensi sebagai rujukan.

Dalam sebuah riwayat menjelaskan, jika Rasulullah sebenarnya sudah memberikan teladan jika seseorang menjalankan puasa sunnah lantas diminta untuk mencicipi makan dan minuman yang sudah dihidangkan.

Atau sebaliknya jika seseorang bertamu di rumah, apakah sebagai tuan rumah melanjutkan puasa atau membatalkannya.

Dalam kondisi tersebut Rasulullah menganjurkan sebuah sikap untuk lebih mengutamakan menghormati tamu atau tuan rumah.

Rasulullah bersabda:

يَتَكَلَّفُ لَكَ أَخُوكَ الْمُسْلِمُ وَتَقُولُ إنِّي صَائِمٌ، أَفْطِرْ ثُمَّ اقْضِ يَوْمًا مَكَانَهُ

BACA JUGA: Hotel Murah di Pusat Kota Depok, Harga Dibawah Rp200 Ribu dengan Fasilitas Kolam Renang

Artinya, “Saudara Muslimmu sudah repot-repot (menyediakan makanan) dan kamu berkata, ‘Saya sedang berpuasa?’ Batalkanlah puasamu dan qadha’lah pada hari lain sebagai gantinya,” (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).

Dalam keterangan tersebut akhirnya sebagian ulama berpendapat, jika tuan rumah keberatan maka seseorang harus membatalkannya.

Hukum membatalkan puasa sunnah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalus surur) tuan rumah adalah sunnah karena perintah Nabi SAW dalam hadits tersebut.

Tidak hanya itu, bahkan pahala yang didapatkan lebih utama daripada meneruskan puasa sunnah sendiri.

Ibnu ‘Abbas RA mengatakan:

مِنْ أَفْضَلِ الْحَسَنَاتِ إِكْرَامُ الْجُلَسَاءِ بِالْإِفْطَارِ

Artinya, “Di antara kebaikan yang paling utama adalah memuliakan teman semajelis dengan membatalkan puasa (sunnah),” 

BACA JUGA: Hotel Murah di Pusat Kota Bekasi, Plus Kolam Renang dengan Harga Dibawah Rp200 Ribu Per Malam

Dalam hukum tersebut tentu secara konteks harus melihat keadaan dan kondisinya, jika tuan rumah keberatan, maka harus membatalkannya karena lebih utama.

Jika tidak, maka seseorang diperkenankan untuk melanjutkan Puasa Syawal.

Dengan demikian bisa disimpulkan, jika hablum minannas dengan tetap menjaga perasaan sesama muslim menjadikan lebih utama daripada melanjutkan puasa.

Hal tersebut tentu juga menjadi teladan yang sudah dilakukan Rasulullah dengan meminta pada sahabat untuk membatalkan puasanya jika tuan rumah keberatan.

Tapi hukum sebaliknya berbeda jika seseorang mengerjakan puasa yang sifatnya Qadha dan Nazar.

Orang tersebut diutamakan untuk tetap melanjutkannya hingga waktu ketentuan berbuka. Sebab, hukum puasa tersebut wajib dilakukan bukan merupakan sunnah.

Artinya lebih utama tetap berpuasa dibandingkan untuk membatalkannya karena bertamu dan tidak enak dengan tuan rumah. ***

Pos terkait