BANTENRAYA.CO.ID – Samad, Eks Kepala Samsat Malingping yang juga terpidana perkara pengadaan lahan Samsat Malingping Tahun Anggaran 2019, mengajukan Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Tipikor Serang, pada Selasa, 30 Mei 2023.
Dalam sidang perdana itu, Samad mengatakan jika dirinya mengajukan PK dalam kasus pengadaan lahan Samsat Malingping itu, lantaran dirinya memiliki novum atau bukti baru.
“Saya sudah mempelajari putusan perkara ini (Samsat Malingping-red) dimana pada halaman 185 majelis hakim menyampaikan fakta dan pertimbangan hukum. Bahwa pada tahapan pembayaran terjadi kesalahan prosedur,” kata Samad dihadapan Majelis Hakim yang diketuai Dedy Ady Saputra dan JPU Kejati Banten Subadri.
Samad mengungkapkan jika perkara korupsi pengadaan lahan Samsat Malingping tidak akan terjadi, apabila pihak-pihak yang bertanggung jawab pada proses pembayaran dalam pelepasan hak bekerja sesuai ketentuan.
Baca juga : Sidang Kasus Penggelapan Pajak Samsat Kelapa Dua, 4 Terdakwa Dituntut 8 Tahun Penjara
“Siapa mereka?, tentu saja yang menanda tangani kwitansi lunas pembayaran yaitu PPTK Ari Setiadi, Bendahara Pengeluaran Budi, Uyi Safuri sebagai pihak yang menerima dan yang mengetahui atau menyetujui Opar Sohari selaku kepala Bapenda,” ungkapnya.
Selain itu, Samad mengaku bingung dengan kinerja Kejaksaan yang hanya menetapkan tersangka tunggal. Padahal dirinya hanya sebagai sekretaris tim persiapan dan pelaksanaan pengadaan lahan Samsat Malingping.
“Secara perorangan tidak memiliki kewenangan pada proses pelepasan hak, penentuan lokasi, dan tidak memiliki kewenangan dalam pembayaran ganti rugi, dan pencairan atas pembayaran ganti rugi,” tandasnya.
Samad menegaskan pihak yang paling bertanggung jawab, dan memiliki kewenangan yaitu mantan pimpinannya di Bapenda Provinsi Banten.
Baca juga : Gelapkan Pajak Mobil Mewah Rp10,8 Miliar, Pejabat Samsat Divonis 5 Tahun
“Kewenangan pengguna anggaran dan pejabat pembuat komitmen yaitu Kepala Bapenda Banten Opar Sohari,” tegasnya.
Kemudian, Samad mengungkapkan alasan lainnya yaitu terdapat disparitas pemidanaan atau perbedaan besaran hukuman yang dijatuhkan dalam perkara-perkara yang memiliki karakteristik yang sama.
“Alasannya ada disparitas pemidanaan, artinya ketidakadilan antara kasus yang (pengadaan lahan) di Tangsel dengan (pengadaan lahan Samsat) di Malingping,” ungkapnya.
Bahkan, Samad menambahkan telah mempelajari Putusan Pengadilan Negeri Tipikor Serang, Putusan PK, dan putusan Kasasi atas perkara yang menimpanya. Kemudian menganalisis hasil putusan dari perkara yang sifatnya sama yaitu perkara pengadaan lahan SMKN 7 Tangerang Selatan.
Baca juga : Sidang Kasus Pengadaan Lahan SMKN 7 Tangsel, Adik WH hingga Mediawarman Disebut Terima Uang Tunai
“Terdapat kekeliruan dalam putusan perkaranya, yaitu terdapat disparitas pemidanaan antara perkara yang menimpanya dengan perkara lain yang sifatnya sama. Sehingga Samad menyebut dipidanakan lebih tinggi dari yang seharusnya,” tambahnya
Samad menerangkan hal-hal yang mengindikasikan terjadinya disparitas pemidanaan, antara kasusnya dengan kasus pengadaan lahan SMKN 7 Tangsel.
“Total kerugian negara atas kasus yang menimpanya mencapai Rp 680 juta dengan pidana 6 tahun 6 bulan, dan denda Rp200 juta, sementara terdakwa Agus Kartono, dengan kasus pengadaan lahan SMKN 7 Tangsel telah merugikan negara sebanyak Rp8,3 miliar, namun pidana pokoknya hanya 4 tahun dan denda Rp100 juta,” terangnya.
Baca juga : Erick Thohir Sebut Dugaan Korupsi Terjadi Kembali, Hilangkan Emas Antam Sebesar Rp47,1 Triliun
Untuk itu, Samad meminta agar Mahkamah Agung dapat membatalkan Putusan sebelumnya, dengan mempedomani Perma Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan.
“Apabila merujuk pada Perma tersebut, perbuatan hukum yang dilakukan dikualifikasikan kategori ringan,” pintanya.
Usai pembacaan novum baru dalam kasus korupsi pengadaan laham Samsat Malingping, sidang selanjutnya ditunda hingga pekan depan. ***