Perihal Sejarah Kota Mati

Oleh : SUPADILAH ISKANDAR

Jadi, kecintaan kepada kotalah yang memungkinkan penduduknya berkemauan untuk merawat dan mengembangkannya, yang tentu mengandung kesenyawaan dengan sikap merasa memiliki (sense of belonging), karena merasa lahir dalam satu rahim atau memiliki sejarah kelahiran yang sama.

Perihal Kota Mati

Kota diibaratkan dengan wujud yang memiliki jiwa. Sebagaimana makhluk hidup, seakan ia dilahirkan, dirawat, bertumbuh besar, hingga kemudian tak bebas dari hukum kematian. Tidak sedikit kota di dunia, yang lahir dan besar secara tiba-tiba, tetapi dalam kurun waktu tertentu kemudian mati secara tiba-tiba juga.

Sebagai organisme yang memiliki jiwa, kota juga memiliki sisi traumatik akibat tindakan totaliter sang penguasa, perang dan pertempuran, kerusuhan massal, bencana alam seperti gunung meletus, gempa, banjir, tsunami, terserang wabah dan epidemi, hingga bencana teknologi (nuklir). Beberapa dekade lalu, kota Hiroshima dan Nagasaki, dibom atom oleh tentara Amerika Serikat (1945). Tercatat di sekitar kota Hiroshima, tidak kurang dari 150.000 korban jiwa, sementara di Nagasaki mencapai 90.000 korban jiwa.

Kota London pernah terserang wabah sampar (1664) yang penggambarannya terkenal luas melalui karya sastrawan Prancis, Albert Camus. Wabah mematikan itu menelan korban sekitar 100.000 jiwa di wilayah London saja. Padahal, kota itu baru berpenghuni sekitar 400.000 penduduk. Selain itu, baru dua dekade lalu di negeri kita (wilayah Aceh), tidak kurang dari 130.000 korban jiwa melayang akibat dihantam badai gempa dan tsunami. Padahal, negeri ini belum lagi pulih setelah mencoba bangkit dari puing-puing keganasan rezim militerisme yang berjubah kesopanan dan kesantunan ala Jawa (Asia) dengan bertopeng “Durga Umayi” seakan-akan gemah ripah loh jinawi. Diperkirakan sekitar satu hingga dua juta penduduk telah menjadi korban perebutan kekuasaan, yang telah membikin trauma ratusan juta jiwa, melalui stigma tiga huruf (PKI) yang diprediksi para sejarawan, akan terus mengendap dalam memori kolektif bangsa hingga seratus tahun ke depan.

Baca artikel Bantenraya.co.id lainnya di Google News
 
Laman sebelumnya 1 2 3 4 5Laman berikutnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button