Setiap kota tumbuh dan berkembang karena faktor-faktor internal penduduk dan penghuninya. Terutama, karena penghuninya merasa memiliki dan mau merawat (sense of belonging).Pulau Run dulunya pernah menjadi jajahan Inggris, sebagaimana New York yang pernah menjadi jajahan Belanda. Tetapi, karena perjanjian Breda (1600-an M), terjadi kesepakatan, bahwa Run kemudian dikuasai oleh Belanda, sementara New York dikuasai oleh Inggris. Beberapa abad kemudian, Run tetap menjadi pulau terpencil, sementara New York menjadi kota besar metropolitan yang terus bertahan hingga saat ini. Pada abad ke-19, muncullah kreasi Thomas Alva Edison yang memulai jaringan listrik untuk kepentingan publik, hingga berhasil membuat terang kota New York selama 4 jam sehari.
Arus besar pembangunan kota, tak bisa diukur dengan seberapa banyak pertokoan atau mal-mal berdiri. Meskipun pertokoan adalah bagian dari indikator kemajuan ekonomi, tetapi seringkali pertumbuhannya menjadi tidak produktif, karena tidak didukung oleh potensi lokal lainnya. Bukankah banyak pertokoan yang kemudian terbengkalai, dan sampai saat ini masih sering kita lihat di kota-kota di sekitar kita?
Anak-anak muda kreatif di berbagai kota niscaya memiliki ide-ide cemerlang yang melintas-batas. Mereka tidak lagi terpaku pada pemikiran konvensional yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Hambatan “isolasi” yang menjadi kelemahan kota dari berbagai pusaran kemajuan, bisa diatasi dengan teknologi. Dengan sendirinya memerlukan keterbukaan, kemauan untuk belajar dan maju bersama. Pemerintah hanya berfungsi selaku katalisator yang mempermudah pergerakan kemajuan, melalui kemudahan regulasi. Modal utama pengembangan kota, terletak pada individu-individu kreatif yang merasa terpanggil untuk kemajuan kotanya.
Jadi, kecintaan kepada kotalah yang memungkinkan penduduknya berkemauan untuk merawat dan mengembangkannya, yang tentu mengandung kesenyawaan dengan sikap merasa memiliki (sense of belonging), karena merasa lahir dalam satu rahim atau memiliki sejarah kelahiran yang sama.
Perihal Kota Mati
Kota diibaratkan dengan wujud yang memiliki jiwa. Sebagaimana makhluk hidup, seakan ia dilahirkan, dirawat, bertumbuh besar, hingga kemudian tak bebas dari hukum kematian. Tidak sedikit kota di dunia, yang lahir dan besar secara tiba-tiba, tetapi dalam kurun waktu tertentu kemudian mati secara tiba-tiba juga.
Sebagai organisme yang memiliki jiwa, kota juga memiliki sisi traumatik akibat tindakan totaliter sang penguasa, perang dan pertempuran, kerusuhan massal, bencana alam seperti gunung meletus, gempa, banjir, tsunami, terserang wabah dan epidemi, hingga bencana teknologi (nuklir). Beberapa dekade lalu, kota Hiroshima dan Nagasaki, dibom atom oleh tentara Amerika Serikat (1945). Tercatat di sekitar kota Hiroshima, tidak kurang dari 150.000 korban jiwa, sementara di Nagasaki mencapai 90.000 korban jiwa.
Kota London pernah terserang wabah sampar (1664) yang penggambarannya terkenal luas melalui karya sastrawan Prancis, Albert Camus. Wabah mematikan itu menelan korban sekitar 100.000 jiwa di wilayah London saja. Padahal, kota itu baru berpenghuni sekitar 400.000 penduduk. Selain itu, baru dua dekade lalu di negeri kita (wilayah Aceh), tidak kurang dari 130.000 korban jiwa melayang akibat dihantam badai gempa dan tsunami. Padahal, negeri ini belum lagi pulih setelah mencoba bangkit dari puing-puing keganasan rezim militerisme yang berjubah kesopanan dan kesantunan ala Jawa (Asia) dengan bertopeng “Durga Umayi” seakan-akan gemah ripah loh jinawi. Diperkirakan sekitar satu hingga dua juta penduduk telah menjadi korban perebutan kekuasaan, yang telah membikin trauma ratusan juta jiwa, melalui stigma tiga huruf (PKI) yang diprediksi para sejarawan, akan terus mengendap dalam memori kolektif bangsa hingga seratus tahun ke depan.
Setelah penggulingan era-Soekarno, tampillah rezim militerisme yang memanfaatkan keuntungan dari kekisruhan politik di Jakarta (1965), yang “kata orang” memiliki niat-niat tulus, tetapi dalam perjalanannya seakan bergerak bagaikan macan kumbang berbulu domba, yang kemudian ketahuan juga belangnya. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya terjengkang juga dari tampuk kekuasaan, dan setiap pelaku kezaliman itu – cepat atau lambat – harus mempertanggungjawabkan dirinya dalam mahkamah sejarah (sebagaimana tertuang dalam novel Pikiran Orang Indonesia). Para pelaku penggalian lubang itu, akhirnya terperosok ke dalam galian lubang ciptaannya sendiri. Secara tiba-tiba. Tanpa Disadari. Biasanya, pada momen-momen saat dia terlena, lupa dan lengah.
Pada prinsipnya, Jakarta tetap eksis sebagai sebuah kota hingga hari ini. Meskipun terus-menerus dilanda banjir korupsi dan wabah delusi (skizofrenia) karena warisan politik stigmatisasi 1965 itu. Warisan politik itu juga memunculkan kader-kader politik dungu dan bebal yang terimbas oleh krisis intelektual yang sangat akut.
Perihal Kota Wuhan
Wuhan adalah kota besar yang terletak di Provinsi Hubei, China. Seluruh dunia mengabarkan bahwa kota itulah yang menjadi cikal-bakal munculnya virus Corona yang mengakibatkan pandemi Covid-19 di seluruh dunia. Kota Wuhan secara mendadak diisolasi, dan kemudian sebagian warganya dievakuasi oleh beberapa negara. Lalu, kota yang pembangunannya nyaris menyamai kota Shanghai itu kemudian lumpuh total. Jalur transportasi dan toko-toko ditutup. Lembaga-lembaga pendidikan juga tutup total. Pelayanan kesehatan hanya berpusat pada pasien yang terpapar Corona saja.
Dalam sekejap, kota Wuhan seketika menjadi kota hantu yang membuat bulu kuduk masyarakat dunia merinding. Seluruh warga Wuhan (11 juta jiwa) dicap sebagai manusia-manusia zombi pembawa maut. Dapatkah kota Wuhan, yang direncanakan China sebagai “jalur sutera” itu kemudian mentransformasi diri pasca Covid-19 ini? Saya kira, terlampau dini untuk mengklaim Wuhan menjadi “kota mati”, meskipun tidak sedikit kota-kota dunia dari abad ke abad, yang kemudian lumpuh total dan semakin ditinggal oleh para penghuninya.
Kita bisa menyebut beberapa contoh dari kota-kota mati berikut ini. Di antaranya kota Beichuan di China. Pada dasawarsa lalu (2008), kota itu dilanda gempa bumi yang menewaskan 1.000 korban jiwa. Karena lapisan buminya diprediksi rentan bencana, maka kota itu pun akhirnya ditinggalkan oleh penduduknya. Di California juga ada kota Bodie, yang dulu menjadi kota tambang emas, tetapi kemudian ditinggalkan penghuninya lantaran kandungan emasnya telah habis (bagaimana dengan Freeport?). Selain itu, ada kota Craco, Italia, yang sudah berdiri sejak abad ke-8 Masehi, tapi kemudian penghuninya hengkang berduyun-duyun akibat dilanda gempa bumi.
Ada lagi kota yang ditinggalkan penghuninya akibat keteledoran (teknologi) manusia secara langsung, misalnya Pripyat di Ukraina, yang dilanda kebocoran reaktor nuklir (Chernobyl). Padahal, kota itu masih muda, dan baru berdiri belasan tahun sebelum kehancurannya (1970). Kota itu kemudian dikosongkan dari penduduknya (1986) yang sudah mencapai 50.000 jiwa.
Tentu sebelum itu pun kita mengenal kota-kota mati yang juga tercatat dalam kitab suci (terutama agama-agama bertradisi Hibrani), baik Islam, Kristen maupun Yahudi. Yang paling populer tentunya kisah Nabi Nuh dan Nabi Luth, di mana kota-kota itu mati lantaran dilanda banjir besar atau gempa bumi. Meskipun, semua itu adalah bencana-bencana yang bersifat alami, tetapi tetap saja muaranya pada kepongahan dan keangkuhan manusia yang secara langsung maupun tidak langsung, telah merusak alam dan lingkungan, melalui pikiran dan ulah perbuatan tangan-tangan mereka. ***
Penulis adalah Peneliti sastra mutakhir Indonesia, menulis cerpen, esai dan puisi di berbagai media nasional luring dan daring.