Link and Match Pembangunan Pendidikan: Kebudayaaan Dalam Cerita ke-Emasan

gagasan

Mohammad Tabrani Soerjowitjiro. Dikenal Tabrani adalah tokoh Pemuda saat itu. Ia menyadari bahwa dari keragaman budaya terdapat akar tunggang persatuan untuk merajut identitas baru dalam Kongres Pemuda I Tahun 1926. Kongres pemuda pertama dipimpin Tabrani. Dua tahun berikutnya, 1928, terbentuk Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda. Inilah nasionalisme awal diikrar tumbuhkan, ikrar terbentuknya sebuah bangsa: Bangsa Indonesia.

Selain sejarah, akar pengikat persatuan berangkat dari budaya yang sama. Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, Borneo dan lainnya merasa berangkat dari kebudayaan yang sama. Diantara kesamaan budaya yang paling menonjol adalah bahasa, bahasa Melayu. Yang sejak itu dinamakan bahasa Indonesia. Berangkat dari budaya, nusantara raya menjelma sebagai nation, sebuah bangsa yang eksis.

90 tahun sesudah peristiwa itu, tiga lembaga setingkat kementerian meluncurkan Indeks Pembangunan Kebudayaan. Bulan Oktober tahun 2019, IPK  diluncurkan oleh Deputi Bidang Koordinasi Kebudayaan Kemenko PMK, Dirjen Kebudayaan Kemdikbud, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas serta Deputi Bidang Statistik Sosial BPS.

Survey pertama dilakukan 2018 dan dipublikasikan Tahun 2019. Kebudayaan kembali mendapatkan perhatian, meskipun sejak tahun 2005 telah ada produk hukum yang mengatur kebudayaan. Masyarakat Internasional melalui UNESCO telah lama mengukur pembangunan kebudayaan negara. Tahun 2018 itu menjadi kali pertama negeri ini, daerah-daerah se-ante-ro negeri ini mengukur skala pembangunan kebudayaan.

Itu sebabnya pada tulisan terdahulu “Pendidikan dan Pembangunan Kebudayaan: Antara Pemajuan dan Pelestarian” (Banten Raya, Rabu 26 Oktober 2022), saya lebih memilih angka tahun 2018 sebagai patokan bagi Banten, meskipun sesudah tahun itu terdapat pengukuran. Toh, grafik capaiannya juga tidak beringsut jauh. Hanya bergeser beberapa point, nol koma sekian.

Mengapa budaya perlu diulas kembali? Karena sebagai nation, nusantara raya ini dirajut oleh budaya. Tanpa strategi ketahanan budaya, masyarakat akan menjadi bulan-bulanan market. Atas nama modernitas kita telah menyerap sekian banyak westernisasi. Sekolah-sekolah kita lebih bangga memasang logo “boarding”.

Masih ingat beberapa tahun lalu sekolah lebih bangga di sebuat berkelas international. Sekolah-sekolah kita benar-benar “tinggal landas” tetapi dalam arti yang negatif: meninggalkan landasan kebudayaan.

Mengapa perlu diwacanakan kembali di Banten? Karena Banten adalah daerah abu-abu yang sedang menjalani transisi dari kebudayaan rural bergerak ke masyarakat urban. Gaya hidup pedesaan dianggap tertinggal. Efeknya bisa kita lihat: pertanian dianggap ketertinggalan. Tak ada pemuda yang memilih berkarir di sawah-pertanian. Pekerja sektor pertanian diisi oleh orang-orang tua.

Tubuh-tubuh bangsa seolah menjadi tubuh-tubuh industri (pabrik) itu dianggap lebih spektakuler dari pada menarik traktor di sawah sendiri, ketimbang mencangkul, menanam dan berternak. Jangan anggap semua ini biasa-biasa saja!, inflasi bisa tak terurus hanya karena para tubuh-tubuh muda kita dan masyarakat sudah tidak lagi menganggap menanam cabe merah, rawit, beternak bagian dari ketahanan budaya origin yang justru lebih dulu menjadi anak kandung dari bangsa kita: Indonesia. Meskipun kita masih beruntung, Banten masih menjadi lumbung pangan. Tetapi pergeseran mata pencaharian masih terus menjadi salah satu ancaman kebudayaan kita.

Kebudayaan berarti keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (koenjtaraningrat, 1990). Sistem mata pencaharian, dan bahasa adalah dua diantara 7 spektrum kebudayaan. 5 spektrum itu: sistem kepercayaan (agama), sistem pengetahuan, tradisi/kesenian, sistem kemasyarakatan dan sistem peralatan.

Penguasaan dan kegilaan kita pada teknologi adalah bagian dari sistem peralatan. Spektrum inilah yang didorong terus menerus dengan milyaran anggaran pertahun lewat sekolah-sekolah. Sekolahan kita jangan hanya mengejar sistem peralatan tanpa menjadikan karifan lokal yang tumbuh berabad-abad sebagai guide. Jangan sampai kita abai. Dan tidak boleh dilupakan bahwa sekolah itu sendiri merupakan bagian dari sistem pengetahuan. Sekolah adalah bagian dari kebudayaan.

Jika kita serius menangani kebudayaan, maka sistem pendidikan sebagai bagian dari spectrum kebudayaan juga akan terangkat. Tapi jika kita hanya menatap sekolah tanpa orientasi budaya maka sekolah yang digelar hanya berisi nilai-nilai yang dicangkok dari negari manca. Sekolah merasa berhasil jika telah mencapai tahap sistem peralatan (teknologi) yang serba digital, serba teknologis.

Demikian pula anak-anak sekolah merasa canggih jika ia bisa mengoperasikan alat-alat yang entah bagaimana dibuat oleh pabrik-pabrik canggih mancanegara. Anak-anak sekolah yang terampil mengunyah produk-produk kekinian diklaim sebagai anak yang pandai. Sekolah sekolah menjelma menjadi pangsa pasar market teknologi. Oleh karena itu orientasi sekolah perlu ditata ulang, setidaknya perlu dikembalikan pada rel kebudayaan.

Untuk menatap masa depan pendidikan, link and match pembangunan pendidikan musti benar-benar dirintis. Apa yang dibutuhkan sekolah dipetakan kembali. Dengan orientasi kepada kebudayaan maka sarana prasarana dan dimensi lain apa yang dibutuhkan sekolah. Teknologi informatika memang masih diperlukan, tetapi ini bukanlah segala-galanya. Sarana apa yang diperlukan sekolah untuk menatap orientasi pada sekolah dengan basis kebudayaan.

Tentu ini pekerjaan besar yang bersifat lintas sektoral. Meskipun dinas pendidikan dan kebudayaan menjadi leading sektor yang menggawangi nomenklatur kebudayaan tetapi jangan dilupakan bahwa kebudayaan meliputi 7 spektrum yang sangat luas itu. Untuk keperluan reorientasi pendidikan, sekolah dapat memulai dengan menimbang kembali penerapan kurikulum muatan lokal, nasional, tata kelola sarana pra-sarana sekolah dan iris-irisan lain tentunya. Agar sekolah semakin support dengan visi kebudayaan, bukan hanya visi teknologis. Artinya ruang-ruang kebudayaan mendapatkan pelembagaan di sekolah.

Tetapi membaca pelembagaan kebudayaan tidaklah terbatas pada seni dan tradisi semata. Sistem pengetahuan adalah bagian dari kebudayaan dan sekolah dapat mengambil peran itu. Artinya menjadikan sekolah sebagai pelembagaan awal bagi pengembangan pengetahuan-pengetahuan baru. Ya tentu saja yang setingkat dengen level sekolah dan terjangkau oleh sumber daya sekolah. Bolehlah mengkaitkannya dengan hal-hal yang bersifat lokalitas, potensi lokal, sumber daya lokal. Inilah salah satu link and match pendidikan dengan kebudayaan yang dimulai dari arah baru pengelolaan urusan pendidikan.

Dengan demikian generasi muda tidak melupakan akar kebudayaan, tidak latah menjadi generasi urban yang bergaya metropolitan. Seorang remaja akan beranjak dewasa di bangku sekolah menengah, tiga tahun. Sesudah itu mereka akan menjadi angkatan kerja, mahasiswa, kembali ke masyarakat. Dari masa ke masa itu: Dinas pendidikan dan Kebudayaan Banten bersama kita semua (civil society) mengemban tanggungjawab kebudayaan untuk melahirkan suatu generasi yang bervisi kebudayaan. Semoga. ***

Pos terkait