Bertaruh Nyawa Demi Anak Istri Bisa Makan

Bertaruh Nyawa Demi Anak Istri Bisa Makan

BANTENRAYA.CO.ID – Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) menyegel sekitar 55 lubang Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Blok Cirotan, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak.

Petugas mengklaim, keberadaan PETI di kawasan itu sudah eksis sejak tahun 1990-an.

Penyegelan itu dilakukan lantaran mereka menilai, penggalian oleh para gurandil (penambang emas) itu ilegal dan berbahaya bagi ekologis, serta berpotensi menimbulkan bencana.

Bacaan Lainnya

Di balik itu, para gurandil paham betul potensi negatif yang bisa di timbulkan. Bahkan mereka paham, aktivitas itu berarti mempertaruhkan nyawa mereka sendiri.

BACA JUGA : Bang Andra Kikis Kesenjangan Infrastruktur

Namun kenapa mereka bertahan? Seorang gurandil asal Desa Citorek, yang enggan disebutkan identitasnya mengemukakan bahwa alasan mereka nekat menggali kawasan TNGHS untuk mencari emas ialah kebutuhan perut. Bukan hanya dirinya, tapi juga anak-istri yang menanti di rumah.

“Kalaupun ditutup, pemerintah bisa ngasih solusi apa biar dapur di rumah tetap ngebul? (berasap),” katanya saat ditemui di kawasan Citorek, Kabupaten Lebak, Rabu (3 Desember 2025).

Dia mengakui risiko dan ancaman yang dihadapinya, terlebih ketika sedang berada di dalam lubang. Namun baginya, bertaruh nyawa merupakan pilihan terbaik ketimbang pasrah sambil menahan rasa lapar.

“Kadang pas lagi di bawah, tanah longsor, atau air dari atas tiba-tiba masuk. Banyak teman yang nggak sempat keluar. Kalau sudah begitu, cuma bisa pasrah,” ungkapnya.

BACA JUGA : Saat Melantik, Walikota Serang Budi Rustandi Minta Himpikindo Kota Serang Ciftakan Hal Kecil Hasil Luar Biasa

Dia sendiri merupakan hanya pekerja kasar. Di belakangnya, ada sosok pemodal yang ia sendiri enggan menyebutkan. Biasanya, dalam satu karung gelondongan, ia bisa mendapatkan emas sekitar 1 hingga 3 gram.

“Sudah hampir 10 tahun mungkin saya jadi gurandil. Awalnya diajak teman,” imbuhnya.

Di sisi lain, kehidupan gurandil di area PETI sempat diungkapkan oleh Direktur Penindakan Pidana Kehutanan, Rudianto Saragih Napitu.

Dia mengungkapkan bahwa dalam skala yang besar, area PETI bahkan terlihat seperti komplek perkampungan.

BACA JUGA : Dindikbud Gelar Sosialisasi Penerbitan Izin Membawa Cagar Budaya ke Luar Daerah 2025

Para gurandil membangun gubuk non permanen menggunakan terpal. Dalam satu komplek bahkan bisa terdiri dari puluhan gubuk.

Di gubuk-gubuk itu juga bahkan ia pernah menemukan area rekreasi mulai dari karaoke hingga warung makan.

Menurutnya, hal itu bisa terjadi lantaran orang yang terlibat dalam satu area komplek PETI bisa sangat besar.

“Ada 7 lokasi kita temukan PETI itu dibangun kelompok. Nah kalau kelompok ini kan kita hitung, satu lubang misalnya yang di dalam ada 10 orang (gurandilnya), kalau lubang besar bisa sampai 50.

BACA JUGA : Arfina Rustandi, Borong Produk UMKM Kota Serang

Belum yang jaga, yang punya tanah, yang punya alat gelondongan, ya pasti dalam satu area sangat banyak,” imbuhnya.

Sementara itu, Rudianto juga menyampaikan bahwa terkait solusi bagi para gurandil usai PETI mereka ditertibkan masih menjadi PR bersama yang harus segera ditemukan.

Untuk itu, peran pemerintah daerah dinilai penting untuk mampu memberdayakan masyarakatnya.

“Kalau kita di kawasan konservasi kan untuk memulihkan. Nah mungkin dari pemerintah daerah juga tadi bilang akan memberdayakan masyarakat,” jelasnya. (aldi)

Pos terkait