Durkhiem dan Banjir di Pulau Sumatera: Krisis, Solidaritas, dan Kekosongan Norma

IMG 20251130 WA0001

BANTENRAYA.CO.ID – Banjir bandang yang melanda sibolga dan kawasan sekitarnya pada akhir November 2025 menimbulkan dampak besar bagi masyarakat.

Peristiwa ini bukan hanya peristiwa alam yang berulang, melainkan sebuah krisis sosial yang memperlihatkan bagaimana masyarakat merespon tekanan kolektif.

Dalam teori Emile Durkhiem, bencana seperti ini dapat dipandang sebagai momen ketika struktur sosial diuji.

Bacaan Lainnya

Peristiwa ini menyebabkan korban jiwa, kerusakan rumah, gangguan listrik dan komunikasi, serta kesulitan distribusi bantuan.

BACA JUGA : Mantan Bendahara Desa Sukamenak Dituntut 1 Tahun Penjara

Ketika peristiwa ini datang, muncul pertanyaan mendasar seperti: Siapa yang bertanggung jawab?” “Siapa yang membantu?” dan “Bagaimana bantuan didistribusikan?”.

Hilangnya norma-norma terlihat jelas ketika aturan yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat.

Durkhiem menekankan pentingnya solidaritas sebagai perekat masyarakat. Dalam kasus Sibolga, banjir menutupi  solidaritas spontan yang lahir dari kesamaan nasib.

Warga saling membantu dalam mengevakuasi keluarga, membuka rumah mereka sebagai tempat berlindung, dan berbagi makanan.

BACA JUGA : THM dan Remang-remang di JLS Membandel

Solidaritas ini bersifat mekanis, muncul dari kedekatan emosional dan pengalaman bersama atas bencana tersebut.

Namun, solidaritas seperti itu biasanya bersifat sementara. Setelah air surut, rasa kebersamaan perlahan memudar, digantikan oleh rutinitas sehari-hari dan kepentingan individu.

Di sinilah letak masalahnya :apakah solidaritas yang muncul dalam krisis dapat diubah menjadi solidaritas yang terorganisir dan berkelanjutan.

Kekosongan norma menjadi tantangan utama. Ketika banjir berulang, masyarakat membutuhkan sistem yang lebih jelas: peringatan dini, tata kelola lingkungan, dan mekanisme distribusi bantuan yang transparan.

BACA JUGA : THM dan Remang-remang di JLS Membandel

Tanpaitu, masyarakatakan terus berada dalam kondisi anomie, yaitu keadaan di mana individu merasa tidak memiliki pegangan sosial yang pasti.

Anomie bukan hanya istilah akademis, tetap irealitas yang terlihat ketika warga bingung harus mengadu ke siapa, ketika bantuan datang tidak merata, atau ketika aturan yang ada tidak mampu menjawab kebutuhan mendesak.

Dalam situasi seperti ini, rasa frustrasi mudah muncul, dan konflik kecil bisa berkembang menjadi ketegangan sosial.

Institusi lokal memiliki peran penting untuk mengisi kekosongan norma tersebut. Pemerintah daerah, lembaga sosial, dan tokoh masyarakat harus mampu membangun mekanisme yang lebih terstruktur.

BACA JUGA : Pengamat: Gaji Gede, Kinerja Memble

Bukan hanya saat banjir terjadi, tetapi juga dalam upaya pencegahan dan mitigasi.

Misalnya, dengan memperkuat sistem drainase, menata kawasan rawan banjir, dan melibatkan warga dalam perencanaan lingkungan.

Dengan cara ini, solidaritas tidak hanya muncul sebagai reaksis pontan, tetapi menjadi bagian dari norma baru yang mengikat masyarakat dalam menghadapi bencana.

Refleksi Durkheim mengingatkan kita bahwa bencana bukan sekadar soal alam, melainkan soal struktur sosial.

BACA JUGA : Pemkot Panggil Konsumen, Developer dan BTN

Banjir di Si bolga adalah cermin yang memperlihatkan apakah masyarakat mampu membangun solidaritas yang lebih terorganisir, atau kahakan terus terjebak dalam sikluskrisis dan kekosongan norma.

Jawabannya bergantung pada bagaimana masyarakat dan institusi lokal berkolaborasi, bukan hanya ketika air naik, tetapi juga ketika matahari kembali bersinar.

Dengan demikian, banjir bukan hanya peristiwa yang merusak, tetapi juga kesempatan untuk menata ulang norma dan solidaritas sosial di Sibolga dan sekitarnya. (*)

Penulisa Adalah Mahasiswa Program Studi Administrasi Negara, Universitas Pemulang Serang dengan Dosen Pembimbing Angga Rosidin, S.I.P., M.A.PdanKepala Program Studi:Zakaria Habib Al-Ra’zie, S.I.P., M.Sos.

Pos terkait