BANTENRAYA.CO.ID – Tak banyak yang tahu, gagasan awal ditetapkannya Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober, ternyata tercetus dari Banten, tepatnya melalui Piagam Perjuangan Al Fathaniyah.
Piagam cikal bakal lahirnya Hari Santri Nasional itu ditandatangani Calon Presiden RI Joko Widodo pada 5 Juli 2014.
Kemudian ketika Joko Widodo menjadi presiden, Hari Santri Nasional ditetapkan pada tanggal 22 Oktober.
Peringatan Hari Santri Nasional itu dituangkan dalam Keputusan Presiden atau Keppres RI Nomor 22 tahun 2015.
BACA JUGA : Memaknai Hari Santri 2023, Wakil Walikota Cilegon Harap Santri Tak Hanya Jadi Penonton Pembangunan
Diketahui, KH Matin Syarkowi selalu Pimpinan Ponpes Al Fathaniyah merupakan pelaku dan penggagas awal terbentuknya Hari Santri Nasional.
Ditemui di Kebon Kebangsaaan di Walantaka, KH Matin Syarkowi menuturkan, sebelum Pemilu 2014, hampir seluruh pesantren tradisional atau sering disebut pesantren kobong di Banten berkeinginan lulusan pesantren ini diakui oleh pemerintah.
Pengakuan pemerintah itu dituangkan dalam bentuk pemberian sertifikasi kelulusan berdasarkan keahlian dan kompetensi santri seperti ahli fiqih, ahli sunah, penghafal Al Quran dan sebagainya.
BACA JUGA : Teks Ikrar Hari Santri Nasional 22 Oktober untuk Dibaca di Upacara HSN 2023
Termasuk pengakuan itu dalam bentuk memberikan beasiswa atau bantuan pendidikan kepada para santri yang kebanyakan dari kalangan masyarakat kalangan bawah.
“Kelak gagasan ini ditangkap menjadi Kartu Indonesia Pintar untuk santri,” kata KH Matin Syarkowi, Sabtu 21 Oktober 2023.
Di tingkat Provinsi Banten, semua gagasan tentang kepedulian terhadap ponpes kobong diusung dengan mendirikan Majelis Pesantren Salafiyah (MPS) Banten.
BACA JUGA : Banyak Dicari! Lirik Lagu Mars Hari Santri Nasional 22 Oktober: Jayalah Bangsa Jaya Negara
Salah satu usulan mendasar adalah menggagas Perda Pesantren Salafiyah ke DPRD Banten. Namun entah mengapa usulan ini menghilang begitu saja, meski sudah disampaikan ke para tokoh dan politisi nasional.
Menurut KH Matin, menjelang pelaksanaan Pilpres tahun 2014, pihaknya kedatangan utusan dari tim pemenangan pasangan Pilpres Jokowi dan Jusuf Kala.
Sadar bahwa perubahan terhadap ponpes kobong di Banten juga menjadi bagian dari keputusan politik, maka dukungan terhadap Presiden dan Wapres saat itu disetujui dengan syarat jika pasangan ini menang, maka mereka mesti memberikan perhatian dan kebijakan yang dapat mengubah wajah pesantren tradisional di seluruh Indonesia, khususnya di Banten.
Kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk Piagam Perjuangan Al Fathaniyah yang ditandatangani Joko Widodo, Calon Presiden tahun 2014 pada 5 Juli 2014.
“Bisa dikatakan ini merupakan kontrak politik untuk memperjuangkan nasib pesantren tradisional atau kobong,” kata KH Matin Syarkowi.
Kesepakatan itu berisi tiga poin penting. Pertama, Ponpes tradisional diberikan peran dan menjadi jembatan dalam menghadapi problem keotentikan dan kemoderenan persoalan bangsa.
Kedua, mewujudkan tujuan dasar syariat Islam dalam bentuk keadilan dan kemaslahatan umat manusia. Ketiga, menghadirkan negara dalam bentuk kebijakan politik regulasi dan politik anggaran.
Sejak ditandatangani piagam tersebut, KH Matin Syarkowi menggulirkan gagasan untuk melahirkan peringatan Hari Santri Nasional, sekaligus berkampanye kehadiran Negera dalam ponpes tradisional jika Jokowi-JK menang.
Gagasan hari santri itu juga disampaikan KH Matin Syarkowi ke politisi nasional seperti Jusuf Kala (Cawapres), Surya Paloh, Rieke Diyah Pitaloka, para akademisi Untirta, di antaranya Ikhsan Ahmad, dan lainnya.
Ketika isu Hari Santri terus bergulir, ketetapan mengenai tanggal berapa Hari Santri sebaiknya diperingati, diputuskan oleh PB NU.
“Saya sebagai orang NU ya harus mematuhi keputusan tersebut. Dan sebenarnya, masih banyak lagi program yang diusulkan berkaitan dengan hari santri. Seperti membangun rumah pangan santri, dan sebagainya yang hingga sekarang belum terwujud,” ujarnya. ***