Literasi Sosial Penyair Banten, Oleh: Ahmad Supena (Kajur PBI FKIP Untirta)

Literasi Sosial Penyair Banten

BANTENRAYA.CO.ID – Ada sejumlah penyair Banten yang terbilang generasi tua, semisal Toto ST Radik dan Ibnu PS Megananda, yang menunjukkan konsen yang kuat dan konsisten mengangkat isu-isu sosial politik dalam puisi-puisi mereka.

Sudah tentu berbeda dengan generasi muda para penyair di Banten yang relatif lebih santai dan lebih menyoroti persoalan sosial-politik sebagai ‘adakalanya’ saja, sebutlah semisal Wahyu Arya (yang juga seorang jurnalis), Irwan Sofwan, Arundanu Katong, Ihya Dinul Alas, Yudi Damanhuri (yang kadangkala menulis naskah drama), Dody Kristianto (yang puisi-puisinya acapkali muncal di Koran Kompas dan Koran Tempo, yang juga sempat menjadi pimred Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten), dan lainnya.

Terkait Toto ST Radik, sebagai contoh, melalui esainya di Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten Edisi I Mei 2016 halaman 10-14, Sulaiman Djaya yang juga penyair dan juara pertama Lomba Menulis Puisi Tingkat Nasional Tahun 2019, memandang puisi-puisi Toto ST Radik banyak yang merupakan kritik sosial-politik terkait tanah kelahiran penyairnya, yaitu Banten. Sulaiman Djaya misalnya mengemukakan:

“Sejumlah puisi Toto ST Radik sangat kental sekali dipinjam (dijadikan media tulisan atau narasi tekstual) sebagai upaya ‘menarasikan’ kenangan penyairnya seputar tanah kelahiran dan kampung halamannya, yang dalam hal ini Banten, sembari berupaya melakukan kritik sosial dan politik ketika penyairnya berusaha melakukan ziarah atau perbandingan ke masa silam dalam upaya mengkontekstualisasikannya dengan ‘ke-sekarang-an’.”

Meski Sulaiman Djaya membahas sejumlah puisi Toto ST Radik yang ada dalam buku antologi yang berjudul Kepada Para Pangeran, pandangan Sulaiman Djaya itu masih pas untuk membaca contoh puisinya Totok ST Radik yang dipublikasi situs: https://www.kurungbuka.com/puisi-puisi-toto-st-radik/ edisi 20 Januari 2019 yang berjudul Lagu Perahu:

“di karangantu
aku menjelma menjadi perahu
menyusuri lumpur hitam
cibanten yang suram
laut jawa yang jauh
memanggili jiwaku yang rapuh
angin nyaris mati
aku terlunta sendiri
kudengar juga jerit belanak
di muara yang tak kunjung tanak
apakah aku harus kembali
ke arah tenggelam matahari?
kulihat semburat jingga
di balik gunung karang yang jaga

kulihat para pertapa
menyalakan dupa
dan pekik barzanji menikamtikam
ulu hatiku yang nyeri
aku perahu
tua dan yatim piatu.”

Sebuah puisi yang menggambarkan kontradiksi dan persepsi negatif yang ditujukan kepada para politisi dan para pejabat yang tidak memberikan dampak kemajuan bagi wilayah dan lingkungan sekitar yang justru dituntut dan diamanahkan oleh jabatan mereka. Nada kritik sosial-politik demikian juga acapkali disuarakan penyair Banten lainnya, yaitu Ibnu PS Megananda, contohnya melalui puisinya yang berjudul Negeri Bayar:

“Hidup di negeri bayar harus punya uang
apa-apa mesti bayar
ada benarnya yang menyarakan itu
dari yang mudah apa lagi yang sulit
dari yang kecil apa lagi yang besar
dari yang terang apa lagi yang gelap
dari yang digratiskan apa lagi yang tidak
semua mesti bayar
padahal tanggungjawab negeri untuk ringankan beban hidup penduduknya

Hidup di negeri bayar dipaksa untuk punya uang
anak kecil harus punya uang
pengangguran harus punya uang
tua dan tak produktif harus punya uang
uang bagai tanda ada kehidupan
tanpa uang terancam macet pelbagai persoalan

Hidup di negeri bayar dilarang meneteskan air mata
dilarang mendengar kongkalikong
dilarang bicara membuka-buka aib
dilarang mencium aroma parfum kolusi, korupsi, nepotisme
dilarang meraba sensitifisme wibawa negeri

Hidup di negeri bayar semua harus pada aturan
petani bisa melulu menyangkul tidak harus punya lahan
pedagang kecil melulu dipinggir jalan kepanasan dan becek bila hujan
seniman tidak boleh kritis menyuarakan hati nuraninya.”

Dibanding puisi-nya Toto ST Radik yang telah disebutkan di atas, puisinya Ibnu PS Megananda lebih eksplisit, seakan tak lagi memerlukan perumpamaan, barangkali agar para pembacanya mudah mencerna dan pesannya cepat sampai. Hanya saja mungkin sentuhan musikal dan pesona puitikanya kurang menarik dan lemah. Berbeda dengan generasi tua, generasi penyair yang muda yang tinggal di Banten relatif lebih santai dalam mengangkat masalah-masalah sosial-politik lewat seni puisi, semisal lebih memiliki nuansa humor dan canda yang segar, tanpa harus kehilangan kekuatan metaforisnya, semisal puisinya Sulaiman Djaya yang berjudul Puisi Politik yang dipublikasi situs: https://www.bacapetra.co/puisi-puisi-sulaiman-djaya-mereka-yang-paling-bahagia-menceritakan-kesedihan/ edisi 10 April 2024:

“Sebelum menulis puisi,
Kutanya dulu kumpulan kata
Yang tengah riang bermain umpama
Siapa di antara mereka
Yang paling bahagia
Menceritakan kesedihan?
“Itu pekerjaan yang sia-sia!”

Ujar kata kerja
Karena pernah saat kuaduk kopi
Terbayang nasib seorang petani
Yang tersisih regulasi
Yang dibuat oleh mereka
Yang makan dari kerja nasibnya
Yang perih. “Biar aku saja!”

Ujar beberapa kata keterangan:
Kesedihan adalah negeriku
Yang lambat belajar
Dari masa lalu.
“Kamu tak boleh menghakimi politisi
Dan para birokrat!”
Entah muncul dari mana, tiba-tiba

Kata benda yang semula diam saja
Seketika garang membentak
Saat pemimpin partai yang jadi menteri
Dikritik pelawak yang menyamar
Jadi dai selebritis. “Tuhan
Tak berkuasa di sini,” kilahnya
“Ini wilayahnya uang dan World Bank!”

Tentu saja aku tertawa
Melihat mereka berdebat
Sebab menyadarkanku pada para penguasa
Di negeriku yang lucu ini
Kala mereka lupa jadi pemimpin
Dan lebih suka bikin undang-undang
Yang bertentangan.”

Kesantaian Sulaiman Djaya tidak mengurangi kekuatan kritik-sosial politik puisinya, meski sebelum-sebelumnya, Sulaiman Djaya lebih sering menulis puisi-puisi liris meditatif, semisal puisi-puisinya yang banyak dipublikasi Koran Tempo dan Majalah Sastra Horison. Namun demikian, terlepas dari perbedaan gaya masing-masing, upaya bersuara dan berekspresi melalui karya seni, seperti melalui puisi, haruslah kita hargai sebagai ikhtiar menghidupkan kejernihan dan kewarasan nurani kita dari kotoran sejarah dan polusi politik yang sanggup ‘menghilangkan’ kemanusiawian kita. Semoga kerja kepenulisan dan kepengarangan di Banten terus berlanjut dan mengharumkan Banten di pentas nasional, bahkan internasional.***

Pos terkait