BANTENRAYA.CO.ID – Pendidikan adalah suatu kebutuhan dan merupakan hak setiap manusia.
Tanpa terbatas usia, kasta, agama, atau ras apa pun, pendidikan adalah sesuatu yang harus dimiliki dan didapat setiap manusia.
Dikutip dari wikipedia.org, pendidikan diartikan sebagai pembelajaran pengetahuan, keterampilan, serta kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi.
Dan dikutip dari kemdikbud.go.id, pendidikan adalah tempat untuk membentuk citra baik dalam diri manusia agar berkembang seluruh potensi dirinya.
BACA JUGA: 4 Cara Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2023, Penuh Makna dan Menyentuh Hati
Sementara itu, di masa kolonial dulu, hak pendidikan tidak begitu merata.
Perjuangan untuk menyebarkan dan melestarikan pendidikan di Tanah Air Indonesia pada masa lalu membutuhkan bantuan dari para pemberani yang pada hari ini mereka dikenal sebagai pahlawan.
Dan dalam nuansa semangat HARDIKNAS 2023 ini, berikut bantenraya.co.id merangkum dari berbagai sumber tentang 6 pahlawan nasional yang terkenal memperjuangkan pendidikan di Indonesia di masa penjajahan:
1. Ki Hajar Dewantara (2 Mei 1889 – 26 April 1959)
Nama asli beliau adalah Raden Mas Soewardi Soejaningrat.
Beliau dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.
BACA JUGA: 6 Tips Meningkatkan Ketertarikan Baca Buku, Urgensi Hobi Membaca Bagi Muslim Remaja
Ajarannya pun dipakai oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai jargon, yaitu “tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada” yang artinya: di belakang memberi dorongan, di tengah menciptakan membangkitkan semangat, di depan memberi contoh.
Dia mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa (National Onderwijs Institur Taman Siswa) pada 3 Juli 1922.
Pendidikan di Taman Siswa bertujuan menanamkan rasa kebangsaan mencintai tanah air untuk berjuang memperoleh kemerdekaan.
2. Kartini (21 April 1879 – 17 September 1904)
Raden Ajeng atau Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh Jawa dan pahlawan nasional yang terkenal sebagai Pelopor Kebangkitan Perempuan Pribumi.
BACA JUGA: Daftar Fenomena Gerhana yang Terjadi Tahun 2023, Ayo Catat Tanggalnya Supaya Tidak Terlewatkan!
Surat-suratnya yang dibukukan dengan tajuk “Habis Gelap Terbitlah Terang” memuat cita-cita dan pemikiran-pemikirannya dalam memperjuangkan hak perempuan di Indonesia.
Tepat pada tanggal 1 Februari 1912, terbentuklah Yayasan Kartini, yang akhirnya diresmikan pada 22 Februari di tahun yang sama.
Deventer, yang adalah pembaca setia buku kumpulan surat-surat Kartini, terpilih menjadi ketua yayasan tersebut.
Setelah diserahi posisi ketua Yayasan Kartini, Deventer mengajak istrinya kembali ke Hindia-Belanda untuk mendirikan sekolah.
Pada tahun 1913, persinggahan mereka kala itu berhasil mendirikan Sekolah Kartini di Semarang.
3. Wahidin Soedirohusodo (7 Januari 1852 – 26 Mei 1917)
Dokter lulusan STOVIA ini sangat senang bergaul dengan rakyat biasa, sehingga tak heran bila beliau mengetahui banyak penderitaan rakyat.
BACA JUGA: Survei Terbaru Elektabilitas Prabowo Terus Melesat, Ganjar dan Anies Jauh Tertinggal
Sebagai dokter, beliau sering mengobati rakyat tanpa memungut bayaran.
Dua pokok yang menjadi perjuangannya ialah memperluas pendidikan dan pengajaran dan memupuk kesadaran kebangsaan.
Beliau sangat menyadari bagaimana terbelakang dan tertindasnya rakyat akibat penjajahan Belanda.
Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan adalah rakyat harus cerdas.
Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah.
Beliau mengemukakan pendapat pada pelajar STOVIA tentang perlunya mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa.
Dan setelah gagasan tersebut disambut baik oleh para pelajar STOVIA, akhirnya pada tanggal 20 Mei 1908, lahirlah Budi Utomo.
4. Ahmad Dahlan (1 Agustus 1868 – 23 Februari 1923)
Beliau terlahir dengan nama Muhammad Darwis, dan berganti nama ke Ahmad Dahlan pada tahun 1888 sepulangnya dari 5 tahun menuntut ilmu di Mekkah.
Pada bidang pendidikan, Ahmad Dahlan mengubah sistem pendidikan pesantren pada masa itu.
Beliau mendirikan sekolah-sekolah agama yang juga mengajarkan pelajaran umum dan juga bahasa Belanda.
Bahkan ada Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S met de Qur’an, dan beliau memasukan pelajaran agama di sekolah umum pula.
BACA JUGA: Piala AFF 2022, Tiket Timnas Ready, Evaluasi Jelang Lawan Vietnam
Semasa hidupnya, Ahmad Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah, dan beliau juga mendirikan masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan juga rumah yatim piatu.
5. Dewi Sartika (4 Desember 1884 – 11 September 1947)
Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika mendirikan Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung.
Hal tersebut berkat dukungan dari kakeknya yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bandung, Raden Adipati Aria Martanagara, dan Den Hamer, Inspektur Kantor Pengajaran.
Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910.
Di sana, Dewi Sartika mengajarkan para wanita membaca, menulis, berhitung, pendidikan agama dan berbagai keterampilan.
Pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat, lalu kemudian berkembang menjadi satu sekolah tiap kota maupun kabupaten pada tahun 1920.
Pada September 1929, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi.
Sekolah Raden Dewi berkembang dengan pesat, sampai sekolah tersebut mengalami krisis keuangan dan peralatan di masa pendudukan Jepang.
6. Roehana Koeddoes (20 Desember 1884 – 17 Agustus 1972)
Beliau adalah wartawati pertama Indonesia.
Roehana hidup pada zaman yang sama dengan Kartini, yaitu ketika akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi.
BACA JUGA: 20 Ucapan Hari Pendidikan Nasional 2023 yang Mengingatkan Cita-cita Luhur Ki Hajar Dewantara
Pada tahun 1911, Roehana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto Gadang.
Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, Roehana menulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia.
Ketika dibredel pemerintah Hindia-Belanda, Roehana berinisiatif mendirikan surat kabar sendiri bernama Sunting Melayu, yang tercatat sebagai salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia.
Itulah 6 pahlawan nasional yang memperjuangkan hak pendidikan di Indonesia.
Semoga hasil jerih payah para pahlawan pendidikan nasional tidak sia-sia, dan kita bisa meneruskan perjuangan mereka dengan memperjuangkan pendidikan keluarga kita sendiri.***