BANTENRAYA.CO.ID – Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyegel PT Genesis Regeneration Smelting (GRS) yang berlokasi di Cikande, Kabupaten Serang, Kamis (21 Agustus 2025).
Penyegelan diduga karena perusahaan pengolah limbah ini melakukan pelanggaran hukum, namun tetap nekat beroperasi.
Padahal pabrik peleburan timbal itu tengah mendapat sanksi dari KLH atas dugaan pelanggaran penglolahan limbah B3.
Deputi Penegakan Hukum KLH Irjen Pol Rizal Irawan mengatakan, kedatangannya ke PT GRS itu menindaklanjuti laporan masyarakat, terkait limbah, serta menindaklanjuti temuan KLH pada tahun 2023 dan 2025.
Sejumlah Wartawan Dianiaya Saat Liput Sidak KLHK ke Sebuah Pabrik di Kabupaten Serang
“Kami datang ke PT Genesis ini pertama karena pengaduan masyarakat, kedua menindaklanjuti hasil verifikasi 2023 dan 2025,” katanya kepada awak media, Kamis (21 Agustus 2025).
Rizal mengungkapkan jika PT GRS itu telah disegel pada Februari 2025 lalu, atas temuan uji laboratorium KLH terkait bahan impor yang diklaim sebagai konsentrat timbal tidak sesuai ketentuan. Namun hingga kini tetap beroperasi.
“Perusahaan ini cukup bandel, membuka segel dan masih tetap beroperasi meski sudah diperintahkan berhenti.
Impor konsentrat timbal minimal kandungannya 56 persen, tapi hasil uji kami hanya 6 persen. Ada dugaan yang diimpor adalah limbah B3,” ungkapnya.
Warga Antre Beli Beras SPHP Bulog
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menduga PT GRS tidak memiliki izin analisis dampak lingkungan (AMDAL).
Meski telah mendapatkan sanksi administrasi pabrik tersebut masih menjalankan usahanya.
“Jadi untuk sekelas ini, ada semacam Amdalnya. Namun demikian yang bersangkutan belum memiliki,” katanya.
Hanif menjelaskan, pabrik itu juga diduga pengolahan limbah tidak sesuai dengan prosedur dan perundang-undangan. Dari 60 persen kandungan, PT GRS mengolah kurang dari 10 persen.
Brigjen Hengki Lanjutkan Subuh Keliling
“Jadi harusnya kan lebih 60 persenan kandungan yang bisa diolah. Ternyata kandungan yang diolahnya hanya sekitar di bawah 10 persen.
Sehingga sisanya yang 90 persen adalah limbah B3 yang sangat berbahaya. Ini tentu memerlukan langkah-langkah tegas dari kita semua,” jelasnya.
Hanif menegaskan perusahaan beroperasi tanpa izin lingkungan, tidak memiliki persetujuan teknis, dan terindikasi melanggar pasal pidana dalam Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Jadi mulai dari pengenaan pasal kesengajaan menimbulkan pencemaran, Pasal 98, Pasal 6, dan Pasal 106 (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup),” tegasnya. (darjat)







