SERANG, BANTEN RAYA- Buruh Banten akan kembali menggelar aksi unjuk rasa menuntut agar upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2022 untuk direvisi. Aksi tersebut akan terus dilakukan meski saat ini ada 6 buruh rekan mereka yang ditetapkan sebagai tersangka, buntut dari demo sebelumnya.
Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Provinsi Banten Intan Indria Dewi mengatakan, unjuk rasa menuntut revisi SK penetapan UMK 2022 merupakan bagian dari perjuangan. Oleh karena itu, aksi tersebut akan terus digelar hingga tuntutan mereka dikabulkan.
“Aksi itu bagian dari perjuangan dan kita juga tidak mau isu terkait revisi UMK ini jadi tergeser,” ujarnya saat dihubungi Banten Raya, Senin (27/12/2021).
Ia menegaskan, pihaknya tak akan terpancing dan mengubah tujuan menggelar aksi pasca adanya 6 buruh yang ditetapkan menjadi tersangka. Buruh akan tetap fokus pada tuntutan awal agar Gubernur Banten merevisi UMK 2022.
“Padahal kenyataannya yang kita tuntut itu revisi UMK 2022. Saat ini seolah-olah ada strategi yang dimainkan agar kita menjadi lupa untuk menuntut revisi tersebut,” katanya.
Berdasarkan catatan Banten Raya, buruh meminta agar UMK 2022 direvisi dan dinaikkan menjadi 5,4 persen dibanding UMK tahun lalu sama rata untuk seluruh kabupaten/kota di Banten.
Meski demikian, Intan juga mengecam aksi lapor polisi yang dilakukan Gubernur Banten Wahidin Halim melalui kuasa hukumnya. Ia menilai pelaporan tersebut merupakan tindakan yang tidak perlu dan bahkan berlebihan.
“Ini sudah keterlaluan ketika pemimpin daerah mau melaporkan rakyatnya yang padahal cuma mau ketemu dan menyampaikan dan menuntut soal kesejahteraan, upah layak. Jadi nilai kemanusiaanya di mana?,” tegasnya.
Menurutnya, seharusnya Gubernur Banten justru introspeksi diri dan merenung mengapa hal yang dilakukan buruh bisa terjadi. Hal itu tak akan terjadi jika ada ruang komunikasi yang dibuka. Tapi kenyataannya dari awal gubernur tidak juga mau menemui buruh ketika menyampaikan aspirasinya.
“Ditambah lagi, statement ketika kita melakukan aksi pada 6 hingga 10 Desember 2021, itu sangat menyakiti buruh. Jelas menyuruh agar pengusaha untuk memecat seluruh tenaga kerjanya jika tidak menerima UMP (upah minimum provinsi),” ungkapnya.
Menurut Intan, dalam pernyataannya gubernur meminta pengusaha untuk mengganti tenaga kerjanya dengan upah Rp2,5 juta per bulan. Padahal saat ini tidak ada kabupaten/kota di Banten dengan UMK Rp2,5 juta.
“Otomatis statement seorang gubernur menyuruh pengusaha untuk membayar upah di bawah UMK, ini jelas pidana. Kita tersakiti dengan hal seperti itu,” tuturnya.
Lebih lanjut dipaparkan Intan, karena hal itulah maka terjadi aksi spontanitas memasuki ruang kerja Gubernur Banten pada 22 Desember 2021. Padahal saat itu ada 50 orang perwakilan yang diminta untuk beraudiensi. Akan tetapi ketika sampai malah tidak ada satu orangpun pejabat pemprov yang representatif untuk menemui buruh. “Ada sebuah spontanitas karena kekecewaan yang berulang kali,” tuturnya.
Terkait 6 buruh yang kini ditetapkan menjadi tersangka, serikat buruh telah membentuk tim bantuan hukum yang terdiri dari beberapa advokat. Advokat ini berasal dari lintas federasi buruh/pekerja di Banten.
“Pasti sudah ada tim bantuan hukum yang kita buat, dan juga membela dan mendampingi kawan-kawan yang saat ini terlaporkan,” tegasnya.
Dalam beberapa kesempatan, Gubernur Banten Wahidin Halim mengaku tak akan merevisi UMK 2022. Sebab, penetapannya sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
“Penetapan UMP dan UMK sudah sesuai ketentuan dan aturan yang tertuang dalam undang-undang nomor 11 tahun 2021 dan PP nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan” ujar Gubernur WH.
Mantan Walikota Tangerang itu menegaskan, tidak akan merevisi UMP dan UMK 2022 selama tidak ada instruksi aturan dari pemerintah pusat.
“Saya patuh terhadap aturan yang berlaku, dan tidak akan merevisi keputusan selama tidak ada instruksi dari pemerintah pusat, dan sampai saat ini tidak ada instruksi revisi dari pemerintah pusat,” tuturnya. (dewa/rahmat)