BANTENRAYA.CO.ID – Himpunan Mahasiswa Islam Mejlis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Lebak menilai bahwa pendidikan di Kabupaten Lebak masih rendah. Hal tersebut dibuktikan oleh rata-rata lama sekolah penduduk Lebak yang baru mencapai 46,52 persen, yang artinya dari jutaan jiwa penduduk rata-rata baru sekolah sampai tingkat sekolah dasar (SD). Adapun faktor utama pendidikan di Lebak rendah yaitu ekonomi.
Bidang Eksternal HMI, Diki Wahyudi mengatakan, pendidikan adalah penentu kemajuan suatu daerah. Bilamana pendidikannya rendah maka otomatis darah tersebut belum dikategorikan sebagai daerah maju.
“Saya miris pendidikan di Lebak rendah, pantas saja Lebak masuk ke kategori daerah tertinggal,” kata dia kepada Bantenraya.co.id, Selasa 4 April 2023.
Ia menjelaskan, jika ingin dikategorikan sebagai daerah yang maju, maka angka lama sekolah harus mencapai 70 persen.
“Katagori pendidikan yang maju dilihat dari angka lama sekolah yang sudah mencapai tujuh puluhan, namun pada kenyataannya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Lebak, angka lama sekolah penduduk Lebak baru mencapai 46,5 persen,” jelas Diki.
BACA JUGA : Rawat Tradisi Ulama, Ratusan Santri di Lebak Ikuti Pasaran
Diki mengungkapkan, miris atas pendidikan di Lebak yang masih terbilang rendah. Menurutnya, rendahnya pendidikan akan berimbas kepada sektor ekonomi, dan kesehatan.
“Ketiga hal itu saling berkesinambungan, jika angka pendidikan rendah, maka kesehatannya akan rendah, kalau kesehatannya rendah, ekonominya pun rendah,” ungkap Diki.
Lebih lanjut, dengan fakta yang seperti itu, maka perlu keseriusan dari pihak terkait untuk mengatasi pengetasan pendidikan yang rendah.
“Dinas Pendidikan harus bergerak untuk menyelesaikan persoalan pendidikan yang rendah, karena itu akan berimbas kepada indikator penentu kesejahteraan penduduk Lebak,” papar Diki.
BACA JUGA Kekerasan Terhadap Anak Marak, Puluhan Anak Lebak Kampanyekan Stop Kekerasan dan Pelecehan Seksual
Dikatakannya, faktor utama rendahnya pendidikan penduduk Lebak mayoritas karena faktor ekonomi, karena minimnya lapangan pekerjaan.
“Berdasarkan hasil investigasi kami di lapangan, mayoritas warga Lebak itu, tidak melanjutkan sekolah karena kebutuhan ekonomi, mereka lebih memilih bekerja ke luar daerah dibandingkan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi,” ucap Diki.
Diki menambahkan, rata-rata pendapatan warga Lebak adalah sekitar Rp 300 ribu perkapita yang dihasilkan dari pekerjaan kasar.
“Pas kami tanya kepada salah satu warga Lebak, orang tuanya bekerja sebagai pekerja kasar atau buruh tani, dengan penghasilan rata-rata Rp 300 ribu perbulan,” tambah dia.
Ia berharap agar pihak terkait segera menaikan angka pendidikan di Kabupaten Lebak dengan cara memberikan beasiswa kepada orang tak mampu, memperbanyak lapangan pekerjaan, dan membuat Peraturan Daerah (Perda) Beasiswa.
“Kalau lapangan pekerjaan banyak, niscaya ekonomi masyarakat meningkat, pengangguran berkurang serta mereka bisa menyekolahkan anaknya, dan satu hal paling penting yaitu membuat peraturan tentang beasiswa,” harap Diki.
Sementara itu, Desi, warga Kecamatan Curugbitung mengaku, lebih memilih bekerja ke daerah Jakarta dibandingkan harus melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.
“Saya tamat sekolah sampai SD doang, soalnya orang tua tak bisa membiayai karena pendapatan dalam satu bulan berkisar Rp 300 ribu, cuman cukup buat kebutuhan rumah, jadi saya lebih memilih bekerja,” tungkasnya.***