Problematika Penentuan Awal Ramadan 1447 H dalam Persimpangan Metode dan Otoritas

6ea0a304 a779 4afa 9133 67166528cebf 1
Dr. H. Sayehu, S.Ag, M.Kom, Dosen Ilmu Falak Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

Oleh : Dr. H. Sayehu, S.Ag, M.Kom (Dosen Ilmu Falak Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

Penentuan awal Ramadhan 1447 H kembali menempatkan umat Islam pada persimpangan klasik antara rukyat (berupa aktivitas pengamatan visibilitas hilal, yakni teramatinya bulan sabit yang tampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak/konjungsi. Pengamatan tersebut dilakukan setelah perhitungan secara astronomis) dan hisab (Perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam penentuan awal bulan pada kalender Hijriyah.), namun dalam implematasinya menimbulkan kompleksitas persoalan.

BACA JUGA: UIN Banten Kampanyekan Islam Rahmatan Lil Alamin, Bangun Indonesia Setara Melalui Toleransi Beragama

Bacaan Lainnya

Bukan hanya soal perbedaan metode, tetapi juga menyangkut otonomi ormas, otoritas negara, perkembangan sains, serta dinamika sosial di era digital. Perbedaan yang sebenarnya dan mendasar adalah bersifat fikih, sayangnya sering melebar menjadi isu identitas dan klaim kebenaran. Di satu sisi, metode rukyat bil fi’li (pengamatan hilal secara langsung) masih dianggap sebagai pendekatan yang sesuai dengan praktik Nabi dan memberi kepastian empiris. Namun di sisi lain, hisab dengan ketelitian astronominya kini mampu memberi prediksi posisi hilal dengan akurasi tinggi, sehingga dipandang lebih efektif untuk kepastian kalender secara global.

 

Persoalan yang muncul ketika hasil hisab menyatakan hilal sudah mungkin terlihat secara teoritis, tetapi laporan rukyat tidak membenarkannya, atau sebaliknya. Pada momen seperti itulah yang akhirnya menimbulkan perdebatan. Problematika Ramadhan 1447 ini menunjukkan bahwa dilema utama bukan hanya pada perbedaan metode, tetapi pada disparitas standar dan otoritas penetapan. Pemerintah melalui Kementerian Agama berperan sebagai pemersatu, namun ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU tetap berpegang pada metodologi masing-masing. Ketika hasilnya berpotensi tidak seragam, masyarakat pun berada dalam kondisi bimbang: mengikuti keputusan otoritas negara atau ormas yang mereka percaya.

 

Perbedaan awal Ramadhan 1447 H terjadi karena kombinasi faktor astronomi, metode penetapan (rukyat vs hisab), kriteria visibilitas hilal, dan perbedaan otoritas keagamaan. Adanya perbedaan Metode, tentunya berpengaruh pada penetapan. Di Indonesia terdapat dua metode, yakni Rukyat dan Hisab. Rukyat (pengamatan langsung hilal), dilakukan dengan melihat hilal secara langsung, baik dengan mata telanjang maupun alat optic (berupa teleskop), jika hilal terlihat saat matahari terbenam, malam itu dinyatakan sebagai awal Ramadhan, sekaligus juga mengutamakan kesaksian pengamat.

 

Adapun hisab (perhitungan astronomi), yakni berdasarkan data astronomi tentang posisi bulan-matahari dan metode ini ada yang memakai kriteria imkanur rukyah (kemungkinan terlihat), misalnya: Tinggi hilal minimal 3°–6° dan Elongasi minimal 6,4°–8°, ada pula yang menggunakan kriteria hisab wujudul hilal (selama hilal sudah berada di atas ufuk, walau sangat rendah).

BACA JUGA: Meriahkan Bulan Bahasa dan Sastra tahun 2023, Dosen UIN SMH Banten Kenalkan Bahasa Isyarat kepada Guru di Banten

Perbedaan standar astronomi inilah yang sering memicu hasil berbeda. Selain itu, adanya perbedaan kriteria Internasional dan kriteria Nasional, yaitu di beberapa negara atau organisasi menggunakan kriteria internasional seperti MABIMS (Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura) yang sejak 2022 memakai kriteria lebih tinggi (3°–6,4°), sedangkan organisasi lain memakai kriteria lebih rendah dari kriteria tersebut (mudah masuk awal bulan lebih cepat) dan lebih tinggi (lebih sulit sehingga terlambat sehari).

 

Juga pemicu perbedaan yang mendasar diakibatkan oleh kondisi Hilal pada 29 Sya’ban 1447 H, yakni biasanya perbedaan terjadi ketika hilal sangat rendah, sehingga secara hisab hilal mungkin sudah berada di atas ufuk, tetapi secara rukyat tidak terlihat karena terlalu tipis, maka kondisi “hilal borderline” hampir selalu menjadi penyebab perbedaan.

 

Adanya perbedaan Otoritas Keagamaan juga mempengaruhi adanya penetapan Ramadhan ini, dikarenakan tiap negara atau ormas punya prosedur. Misalnya di Indonesia, Pemerintah (Kementerian Agama RI) penentuan Ramadhan dan awal bulan lainnya yang berkaitan dengan ibadah dilakukan melalui sidang isbat. Sedangkan Ormas (Muhammadiyah, NU, dll.) punya metode masing-masing. Demikian juga negara lain (Arab Saudi, Turki, Malaysia) memiliki otoritas berbeda.

 

Perbedaan otoritas berpengaruh adanya potensi perbedaan keputusan. Selain itu, adanya perbedaan Prinsip Fikih dalam pemahaman sumber hukum Islam terkait penentuan Ramadhan mempengaruhi penetapannya. Di antara perbedaan juga bersumber dari “Apakah menerima kesaksian hilal dari negara lain (ittihadul mathla’) atau tetap memakai batas wilayah masing-masing (ikhtilaf al-mathla’)?” atau “Apakah mendahulukan kemutlakan hisab atau tetap menunggu rukyat?’

 

Situasi hilal menjelang Ramadhan 1447 H (menjelang bulan puasa 1447 Hijriah) secara astronomi — terutama data ketinggian, elongasi, dan bagaimana ini menyebabkan perbedaan keputusan antar ormas/negara. Pertama, berdasarkan data astronomi & hilal untuk Ramadhan 1447 H, bahwa menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan peta hilal 2026, ijtimak (konjungsi) jelang Ramadan 1447 H terjadi pada Selasa, 17 Februari 2026.

 

Muhammadiyah Tetapkan Ramadan 1447 H 18 Februari, Idul Fitri 20 Maret | IDN Times. Atau tepatnya: ijtimak tercatat pukul 12:01:09 UTC pada hari itu. Muhammadiyah Resmi Tetapkan 1 Ramadan 1447 H Jatuh pada 18 Februari 2026 – Jawa Pos. Namun — pada saat matahari terbenam hari itu — posisi hilal (bulan sabit baru) belum memenuhi kriteria “visibilitas awal” di sebagian besar dunia: tinggi bulan belum mencapai minimal 5° dan elongasi (sudut Bulan–Matahari) belum mencapai minimal 8°, sesuai parameter global yang dipakai oleh sebagian pihak.

 

Karena itu, berdasarkan perhitungan hisab + kriteria global (bukan observasi lokal), sebagian pihak menyimpulkan bahwa hilal belum “wujud secara global” pada waktu matahari terbenam hari itu. Maka jelas, intinya: secara astronomi, meskipun ijtimak sudah terjadi (bulan dan matahari sejajar secara ekliptika), kondisi hilal pada saat maghrib (terbenam matahari) tidak menunjukkan posisi ideal untuk terlihat secara jelas di seluruh dunia.

 

Berbeda dengan sikap Ormas/Otoritas (Muhammadiyah vs pendekatan “hisab/rukyat lokal/global), bahwa Muhammadiyah (dan pendukung Kalender Hijriah Global Tunggal / KHGT) resmi menetapkan 1 Ramadhan 1447 H jatuh pada Rabu, 18 Februari 2026. Keputusan ini berdasarkan hisab hakiki melalui parameter global, yakni meskipun saat matahari terbenam pada 17 Feb hilal belum mencapai ketinggian ≥ 5° & elongasi ≥ 8°, setelah tengah malam UTC (pukul 24:00 UTC) ada wilayah di belahan bumi lain (misalnya di daratan Amerika) yang sudah memenuhi parameter tersebut — maka dengan prinsip matlak global, tanggal 1 Ramadhan ditetapkan serentak di seluruh dunia.

 

Sedangkan dalam pendekatan “hisab local dan observasi/rukyat” atau hisab sekaligus menggunakan rukyat nasional, bahwa Untuk wilayah Indonesia, meskipun ijtimak tercatat, posisi hilal pada maghrib 17 Feb 2026 tidak memenuhi kriteria visibilitas hilal global sebagaimana yang dipakai Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT), maka kemungkinan hilal tidak terlihat secara aman di banyak lokasi di Indonesia. Oleh karenanya, jika menggunakan metode hisab dengan rukyat lokal (atau kriteria visibilitas tradisional), banyak ahli/organisasi mungkin menunda awal Ramadan hingga kondisi hilal betul-betul memenuhi kriteria visibilitas di wilayah lokal masing-masing.

 

Untitled 1
Gambaran Ijtimak menjelang awal Ramadhan 1447 H. di Provinsi Banten.

 

Secara keseluruhan keadaan hilal awal Ramadhan 1447 H. di Indonesia diperkirakan berdasarkan ketentuan IR Mabims:

Elongasi Terbesar            : 001° 53’ 24’’ di Jayapura

Elongasi Terkecil             : 000° 56’ 19’’ di Lhoknga

Tinggi Hilal Terbesar       : -000° 51’ 32’’ di Tua Pejat

Tinggi Hilal Terkecil       : -002° 14’ 56’’ di Jayapura

 

Dilihat dari data perhitungan tersebut, maka dipastikan adanya perbedaan penentuan awal Ramadhan 1447 H. Pertanyaannya, “Mengapa hal ini bisa menimbulkan perbedaan penetapan Awal Ramadan 1447 ?” Dari data di atas, dapatlah dilihat beberapa factor, meskipun data astronomi sama, keputusan bisa berbeda. Hal tersebut adanya parameter yang digunakan berbeda: “parameter global (global visibility criteria)” vs “parameter lokal / hisab + rukyat tradisional”.

 

Untuk Ramadan 1447 H, secara astronomi ijtimak memang sudah terjadi pada 17 Februari 2026. Tetapi posisi hilal saat matahari terbenam hari itu belum memenuhi kriteria visibilitas global (tinggi ≥5°, elongasi ≥8°), sehingga dari perspektif banyak lokasi — termasuk Indonesia — hilal kemungkinan tidak bisa dirukyat dengan aman. Karena itu, pihak-pihak yang menggunakan kriteria global (seperti Muhammadiyah) memutuskan 1 Ramadan serentak secara global (18 Februari 2026), sementara pihak lain yang mengutamakan visibilitas lokal/hisab + rukyat bisa memilih menunggu sampai hilal benar-benar bisa dilihat secara lokal.

 

Era digital ikut memperkeruh suasana. Informasi tentang prediksi astronomi global menyebar cepat, seringkali tanpa konteks ilmiah atau fikih yang memadai. Akibatnya, sebagian masyarakat merasa pemerintah “terlambat” atau ormas “terlalu kaku”, padahal keduanya berangkat dari perangkat metodologis yang sah. Dalam situasi ini, yang dibutuhkan bukan sekadar debat metode, tetapi komunikasi yang jernih dan dialog antar-otoritas keagamaan.

 

Konsensus mungkin sulit dicapai sepenuhnya, tetapi kesalingpahaman dan pengelolaan perbedaan sangat mungkin diwujudkan. Perbedaan awal Ramadhan sebenarnya bukan masalah esensial dalam ibadah; yang lebih penting adalah bagaimana umat tidak terbelah secara sosial dan emosional hanya karena perbedaan hitungan satu hari.

 

Pada akhirnya, problematika penentuan awal Ramadhan 1447 H seharusnya menjadi momen refleksi: bahwa kemajuan sains dan keberagaman fikih adalah kekayaan, bukan ancaman. Selama perbedaan dijalani dengan sikap inklusif, umat dapat tetap bersatu dalam semangat ibadah yang sama—menyambut Ramadhan dengan kedamaian, meski dengan kalender yang tidak selalu seragam. ***

 

 

 

Pos terkait