Oleh: Akhlisir Rusydi, Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyaiaran Islam Universitas Sultan Maulana Hasanudin Banten.
Di tengah akselerasi teknologi kecerdasan buatan (AI) yang kian masif, konsumen smartphone di Indonesia justru harus bersiap menghadapi tantangan besar pada 2026. Alih-alih mendapatkan perangkat canggih dengan harga kompetitif, pasar ponsel diprediksi akan mengalami harga jual yang melambung tinggi namun dibarengi dengan pemangkasan spesifikasi.
Kenapa hal ini terjadi?
Biang kerok utama di balik fenomena ini adalah kelangkaan komponen Dynamic Random-Access Memory (DRAM). Sebagai komponen krusial bagi pusat data AI maupun smartphone, pasokan DRAM kini tengah menjadi rebutan global. Produsen chip dunia kini lebih memprioritaskan produksi High Bandwidth Memory (HBM) untuk kebutuhan server AI yang jauh lebih menguntungkan secara finansial.
Direktur Riset di Counterpoint Research, MS Hwang, mengungkapkan bahwa investasi besar-besaran di sektor AI telah menciptakan ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan chip. Harga DRAM sendiri tercatat telah meroket antara 70% hingga 90% sepanjang tahun ini karena terbatasnya kapasitas produksi. Laporan terbaru Counterpoint per 16 Desember 2025 memperingatkan bahwa dominasi sektor AI ini akan memicu kenaikan harga smartphone yang sangat signifikan di tahun depan.
BACA JUGA: 140 Wartawan Banten Lulus Kompetensi
Analisis tersebut memprediksi angka pengiriman ponsel global akan terkoreksi turun sebesar 2,1% pada 2026 sebuah revisi tajam dari proyeksi sebelumnya. Sebaliknya, harga rata-rata penjualan (Average Selling Price) secara global diperkirakan melonjak sekitar 6,9%. Tekanan ini dipicu oleh biaya komponen memori yang diperkirakan naik hingga 40% akibat persaingan ketat dengan industri AI pusat data.
Menaikkan Harga atau Memangkas Fitur
Di Indonesia, kondisi ini menempatkan para vendor ponsel pada posisi dilematis. Untuk menjaga agar produk mereka tetap terjangkau oleh daya beli masyarakat, banyak produsen terpaksa melakukan langkah “penyesuaian” spesifikasi yang cukup drastis.
Mengutip analisis dari Jagat Gadget dan Counterpoint, produsen kini hanya dihadapkan pada dua pilihan sulit: membebankan kenaikan biaya produksi (Bill of Materials) langsung kepada konsumen melalui harga jual, atau menurunkan spesifikasi perangkat demi mempertahankan harga lama.
BACA JUGA: UIN Banten Kampanyekan Islam Rahmatan Lil Alamin, Bangun Indonesia Setara Melalui Toleransi Beragama
Jika tren ini terus berlanjut, penggunaan RAM besar akan menjadi barang mewah. Diperkirakan, ponsel dengan RAM 12GB akan berkurang drastis hingga 40%, sementara model RAM 8GB bisa menyusut lebih dari 50% di pasaran. Dampaknya, konsumen kemungkinan besar akan lebih sering menemui ponsel dengan kualitas layar standar atau hilangnya lensa kamera sekunder (seperti ultra-wide). Risiko terbesar akan dirasakan oleh segmen kelas menengah, di mana margin keuntungan yang tipis memaksa pembeli untuk membayar lebih mahal demi spesifikasi yang justru lebih rendah dari model tahun sebelumnya.
Pergeseran Perilaku Konsumen Lokal
Bagi pasar Indonesia, inflasi teknologi ini menjadi pil pahit di tengah upaya pemulihan daya beli masyarakat. Kondisi ini diprediksi akan mengubah perilaku konsumen secara radikal. Pasar ponsel bekas (second-hand) atau model flagship dari dua tahun lalu kemungkinan besar akan lebih diminati dibandingkan perangkat rilisan terbaru 2026 yang spesifikasinya telah dipangkas. ***








