SERANG, BANTEN RAYA- Pemerintah Provinsi Banten pada tahun 2022 ini kemungkinan tidak akan mengusulkan pengajuan gelar pahlawan nasional yang berasal dari Banten kepada pemerintah pusat. Sebab, sampai dengan bulan November ini belum ada kabupaten maupun kota yang mengajukan pengusulan gelar pahlawan ke pemerintah pusat melalui Pemerintah Provinsi Banten.
Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial Dinas Sosial Provinsi Banten Sirojuddin mengatakan, sampai saat ini baru ada empat pahlawan dari Provinsi Banten yang sudah ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah. Keempatnya adalah Syafruddin Prawiranegara, Sultan Ageng Tirtayasa, Brigjen KH Syam’un, dan Raden Aria Wangsakara.
Berikut profil singkang keempat pahlawan dari Banten yang dikutip Banten Raya dari sejumlah sumber.
1. Syafruddin Prawiranegara
Dikutip Banten Raya dari dev2019.bantenprov.go.id, Sjafruddin
Prawiranegara adalah pahlawan yang lahir di Serang, Banten, pada 28 Februari 191- dan meninggal di Jakarta 15 Februari 1989. Dia adalah seorang pejuang kemerdekaan, Menteri, Gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menteri, dan Ketua (setingkat presiden) Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Syafruddin Prawiranegara menerima mandat dari presiden Soekarno ketika pemerintahan Republik Indonesia yang kala itu beribukota di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda ll pada tanggal 19 Desember 1948. la kemudian menjadi Perdana Menteri bagi kabinet tandingan Pemerintahn Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Tengah tahun 1958.
Sebelum kemerdekan, Syafruddin pemah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta (1939-1940), petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), serta pegawai Departemen Keuangan Jepang.
Setelah kemerdekaan Indonesia , ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis Besar Haluan Negara.
Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekamo dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap Agresi Militer I, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, tahun 1948. Hatta yang telah menduga Soekarno dan dirinya bakal ditahan Belanda segera memberi mandat Sjafruddin untuk melanjutkan pemerintahan agar tak terjadi kekosongan kekuasaan.
Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda dan akhirnya Soekamo dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949 diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.
2. Sultan Ageng Tirtayasa
Dikutip Banten Raya dari dev2019.bantenprov.go.id, Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631-1683) adalah putra Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Rau Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangat menjadi Sultan Muda bergelar Pangeran Rau atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Masjid Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651-1683. Dia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Sultan menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Saat itu Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, ia berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi.
Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat Sultan. Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan sekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Brigjen KH Syam’un.
Dikutip Banten Raya dari dev2019.bantenprov.go.id, KH Syam’un bin H Alwiyan adalah pendiri Perguruan Tinggi lslam Al-Khairiyah Citangkil, Desa Wanasari, Kecamatan Pulomerak (sekarang Kecamatan Citangkil), Kota Cilegon, Banten. Perguruan tersebut didirikan dalam dua tahap, yaitu sistem pesantren (tradisional) yang kemudian dikembangkan dengan sistem madrasah (klasikal).
Brigjen KH Syam’un merupakan putra pasangan H Hajar dan H Aiwiyan. KH Syam’un masih keturunan KH Wasid, tokoh Geger Cilegon 1888. Sejak masih anak-anak, Brigjen KH Syam’un mendapat pendidikan pesantren, tepatnya pada usia 4 tahun sudah dikirim orang tuanya menimba ilmu agama di pesantren Delingseng. Selama dua tahun di sana, (1898-1900) Ki Syam’un yang masih usia balita belajar di bawah asuhan KH Sa’i, dilanjutkan ke Pesantren Kamasan (1901-1904) di bawah asuhan KH Jasim.
Pada umur 11 tahun ia melanjutkan studi ke Mekkah (1905-1910) berguru di masjid Al-Haram tempat ahli-ahli keislaman terbaik di dunia berkumpul membagi ilmu. Pendidikan akademiknya dilalui di Al-Azhar University Cairo Mesir (yang saat itu masih masuk dalam jajaran perguruan tinggi termasyhur di dunia) tempat Ki Syam’un kuliah pada 1910-1915.
KH Syam’un bergabung dengan PETA, gerakan pemuda bentukan Jepang. Bagi orang yang tidak mengerti, KH Syam’un dianggap plin-plan dan pro Jepang, padahal yang ia Iakukan adalah strategi mempersiapkan perlawanan.
Semasa di PETA, jabatan KH Syam’un adalah Dai Dan Tyo yang membawahi seluruh Dai Dan I PETA yang wilayah kekuasaannya meliputi Serang, yang pada akhirnya pindah ke Labuan. Selama menjadi Sai Dan Tyo, KH Syam’un sering mengajak anak buahnya untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan Jepang. Maksud tersebut ia utarakan kepada pemimpin Dai Dan Tyo M KH Oyong Ternaya dan Dai Dan Tyo IV Uding Surya Atmadja
untuk mengumpulkan kekuatan.
Keterlibatan KH Syam’un dalam dunia militer ini mengantarkan KH Syam’un menjadi pimpinan Brigade l Tirtayasa Badan Keamaman Rakyat (BKR) yang berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan berganti menjadi TNI Divisi Siliwangi. Dengan pangkat terakhir Brigadir Jendral (Brigjen). Karir KH Syam’un di ketentaraan terbilang gemilang hingga diangkat menjadi Bupati Serang periode 1945-1949.
Di sela jabatannya sebagai Bupati Serang sekira tahun 1948, KH Syam’un masih mengurus pesantren. Pada tahun yang sama, meletus Agresi Militer Belanda II yang mengharuskan KH Syam’un bergerilya dari Gunung Karang, Kabupaten Pandegaing hingga ke Kampung Kamasan, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, daerah ini menjadi tempat tinggal salah satu gurunya, KH Jasim. Di kampung ini KH Syam’un meninggal pada tahun 1949 karena sakit saat memimpin gerilya dari hutan sekitar Kamasan.
4. Raden Aria Wangsakara
Dikutip Banten Raya dari setkab.go.id, Raden Aria Wangsakara lahir di Sumedang tahun 1615. Wangsakara bukan hanya tokoh keagamaan dalam Kesultanan Banten pada masanya, tetapi juga tokoh politik dan pemimpin militer yang terus berjuang dalam semangat untuk mengusir penjajah. Melalui latar belakang perjuangannya semasa Kesultanan Banten semasa Sultan Abul Mufakhir dan Sultan Ageng Tirtayasa, Wangsakara menegaskan perannya sebagai sosok yang turut memainkan peranan penting dalam
melawan penjajah (VOC).
Pada 1636, Wangsakara diutus Sultan naik haji. Di Mekah, Wangsakara berhasil memperoleh surat pengakuan Banten oleh Syarif Mekah sebagai kepanjangan tangan dari otoritas politik Turki Utsmani (Ottoman). Sekembalinya ke Banten, Wangsakara didiberi gelar Kiai Mas Haji Wasangraja.
Tahun 1654 ketika terjadi peperangan di Batavia antara Kesultanan Banten dengan VOC, Raden Aria Wangsakara mewakili Kesultanan Banten sebagai juru runding yang membuahkan kesepakatan penghentian perang. Daerah yang dikuasai masing-masing tetap dipertahankan. Tahun 1658-1659 ketika terjadi peperangan, Raden Aria Wangsakara mendapat mandat dari Sultan Ageng Tirtayasa untuk memimpin perang melawan VOC yang berujung pada perjanjian damai pada tanggal 5 Juli 1659.
Pascaperang, Wangsakara mengubah strategi pertahanan dengan membuat permukiman dan kanal sehingga menjangkau daerah Tangerang pedalaman. Wangsakara wafat pada tanggal 15 Agustus 1681 dan dimakamkan di Lengkong, Pagedangan, Tangerang atau Taman Makam Pahlawan, Kabupaten Tangerang.
Mufti Ali, akademisi UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten yang juga merupakan penyusun naskah akademik Aria Wangsakara, menilai Aria Wangsakara layak diberikan gelar sebagai pahlawan karena perjuangannya melawan Belanda saat masih hidup. Ketika terjadi konvrontasi antara Belanda dengan Kesultanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan pasukan terbaiknya yang didampingi Aria Wangsakara yang saat itu menjabat sebagai Imam Besar Kesultanan untuk memperkuat spiritualitas pasukan.
Aria Wangsakara dikenal sebagai ulama yang luas ilmu pengetahuan agamanya seperti ilmu fikih, termasuk ilmu tasawuf. Aria Wangsakara menghabiskan usianya di Lengkong, Tangerang. Karena itu, Lengkong dikenal sebagai salah satu spot utama dalam penyebaran ilmu-ilmu tasawuf di Kesultanan Banten.
Sebelumnya, ketika Sultan Abul Mafakhir berkuasa, Aria Wangsakara sempat diutus sebagai Duta Besar Kesultanan Banten ke Mekkah bersama dua orang kepercayaan Sultan lain pada tahun 1936 dan kembali tahun 1638. Sepulang dari Mekkah, Sultan Abul Mafakhir yang merupakan kakek dari Sultan Ageng Tirtayasa ini memberikan gelar Haji Mas Wangsaraja kepada Aria Wangsakara.
Mufti Ali mengaku, pengusulan gelar pahlawan bagi Aria Wangsakara adalah yang paling lancar dibandingkan dengan sejumlah tokoh pahlawan lain yang dia kerjakan pula, misalkan Brigjen Sjamun. Sekali mengusulkan, Aria Wangsakara langsung diverifikasi oleh tim. Usulan gelar pahlawan untuk Aria Wangsakara diterima tahun 2019.
“Saya merasa senang dan bahagia. Artinya penyusunan karya tulis saya
itu lolos seleksi,” katanya. (tohir)