BANTENRAYA.CO.ID – DPR RI mengesahkan Undang-undang atau UU Kesehatan dan mendapatkan penolakan dari sejumlah organiasi profesi tenaga kesehatan.
Dimana, UU Kesehatan tersebut dalam kemunculan awal rancangan sudah banyak ditolak organiasi profesi tenaga kesehatan.
Akibatnya, sekarang sejumlah organisasi profesi tenaga kesehatan yakni IDI, PPNI. IBI, IAI dan PDGI mengancam akan melakukan mogok serentak.
Hal itu, karena sejumlah aspirasi yang disampaikan tidak mendapatkan tanggapan dan revisi.
Beberapa aspirasi keberatan tersebut salah satunya membiarkan para dokter luar negeri dan dokter diaspora beroperasi di dalam negeri.
Selanjutnya juga, mencabut peran organisasi profesi dalam hal praktik tenaga kesehatan karena tidak diperlukan lagi surat keterangan sehat dan rekomendasi dari organisasi profesi.
Dikutip BantenRaya.Co.Id dari berbagai sumber pada Rabu 12 Juli 2023, sejumlah organisasi profesi tersebut karena menolak adanya UU Kesehatan yang disahkan, maka akan melakukan aksi mogok massal se Indonesia.
“PPNI sudah rapat kerja nasional di tanggal 9-11 Juni yang lalu di Ambon. Sudah menyepakati salah satu opsinya adalah mogok nasional,” kata Ketua DPP PPNI Arif Fadilah sebagaiman dikutip BantenRaya.Co.Id.
Pihaknya, jelas Arif, akan menentukan bersama dengan organisasi profesi lainnya yang ikut bersuara.
Sehingga bisa dilakukan secara bersama-sama dan serentak.
BACA JUGA: Tingkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat, Dinkes Banten Terapkan Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan
“Tapi memang mogok nasional itu dilakukan secara kolektif dengan empat organisasi profesi yang lainnya,”.
“Karena itu, sampai hari ini kita masih terus mengkonsolidasikan itu supaya ini bisa terlaksana,” jelasnya.
Tapi, ujar Arif, adanya mohok kerja nasional dipastikan tidak akan mengabaikan posisi vital pelayanan koesehatan.
Sehingga ada bagian yang dikecualikan.
“Kami sudah sepakati mogok kerja itu, kecuali di tempat-tempat yang critical, seperti ICU, gawat darurat, kamar bedah, untuk anak-anak yang emergency, itu tidak kita lakukan,” ujarnya.
BACA JUGA: 3 Manfaat Buah Lemon Untuk Kesehatan Wajah 2023 Dan Juga Bisa Mencerahkan dalam seketika
“Tapi yang umum, yang efektif, yang bisa kita rencanakan, yang pilihan itu bisa dilakukan,” tambahnya.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, adanya aspirasi mogok kerja menjadi bagian dari demokrasi.
“Saya rasa di alam demokrasi ini teman-teman saya sangat menghargai perbedaan pendapat, diskursus itu adalah hadiah di krisis keuangan tahun 98,” ucapnya.
Perbedaan pendapat soal UU Kesehatan, menurut Budi, adalah hal wajar dan terjadi.
“Kita sama-sama mesti sadari adalah berbeda pendapat itu wajar. Tapi sampaikan dengan cara sehat. Kami juga terbuka kapan saja,” ungkapnya.
Diketahui ada sejumlah penolakan dalam pasal yang disahkan dalam UU Kesehatan yaitu:
Pasal 154 ayat 3
Berbunyi: “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat berupa narkotika; psikotropika; minuman beralkohol; hasil tembakau; dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya.”
Pasal ini disebut kontroversial karena memasukkan tembakau dengan narkotika dan priskotropika dalam satu kelompok zat adiktif.
IDI khawatir penggabungan ini akan menyebabkan munculnya aturan yang bakal mengekang tembakau jika posisinya disetarakan dengan narkoba dan memicu polemik di kalangan industri tembakau.
Pasal 233 – 241
Sejumlah pasal tersebut akan mempermudah dokter asing maupun dokter diaspora beroperasi di dalam negeri.
Tertulis: “Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah lulus proses evaluasi kompetensi dan akan melakukan praktik di Indonesia haru memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP),”.
Kementerian Kesehatan mengatakan syarat dokter asing bisa bekerja dan berpraktik di Indonesia sangat ketat dan kelak diarahkan memberikan pelayanan kesehatan ke daerah 3T (daerah tertinggal, terdepan, dan terluar).
Tetapi Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Usman Sumantri, menilai ‘impor’ tenaga kesehatan asing dapat berisiko terhadap pelayanan kesehatan masyarakat.
Usman juga mengatakan pemerintah semestinya lebih mengutamakan tenaga kesehatan dalam negeri demi pemerataan pelayanan.
Pasal 235 ayat 1
Tertulis di situ bahwa, “Untuk mendapatkan SIP (Surat Izin Praktik) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 ayat 2, tenaga kesehatan harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi”.
IDI, beleid ini sama saja mencabut peran organisasi profesi dalam hal praktik nakes karena tidak diperlukan lagi surat keterangan sehat dan rekomendasi dari organisasi profesi.
Padahal surat rekomendasi itu akan menunjukkan calon nakes yang akan praktik tersebut sehat dan tidak punya masalah etik dan moral sebelumnya.
Pasal 239 ayat 2
Isi pasal ini mengatakan: “Konsil kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai pasal tersebut “melemahkan” organisasi profesi lantaran sebagian besar fungsinya diambil alih oleh Kementerian Kesehatan.
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang sebelumnya independen dan bertanggung jawab ke Presiden nantinya akan bertanggung jawab kepada Menteri.
Pasal 314 ayat 2
Pasal itu disebut IDI akan mengamputasi peran organisasi profesi karena isinya yang menyebutkan, “Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi”.
Namun di Pasal 193 terdapat 10 jenis tenaga kesehatan, yang kemudian terbagi lagi atas beberapa kelompok. Dengan begitu total kelompok tenaga kesehatan ada 48.
IDI sebagai salah satu penolak RUU Kesehatan, mengaku dibuat bingung, apakah satu organisasi profesi untuk seluruh jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi menaungi setiap jenis kesehatan.
Lembaga itu mencontohkan, dokter gigi, dokter umum dan dokter spesialis yang masing-masing punya peran berbeda serta visi misinya juga beda.
Pasal 462 ayat 1
Pasal tersebut menyebutkan: “Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun.”
Kemudian di pasal 2 tertulis, “Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kematian, setiap tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pasal itu sebagai “kriminalisasi dokter” lantaran tidak ada penjelasan rinci terkait poin kelalaian yang dimaksud. ***