SERANG, BANTEN RAYA- Tokoh pendiri Provinsi Banten Aly Yahya mendorong agar DPRD Provinsi Banten menggunakan hak interpelasi untuk mengevaluasi kinerja Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar. Apalagi, dalam penilaian DPRD Provinsi Banten, Al Muktabar dinilai tidak mau bersama-sama menjalankan pemerintahan.
Hal itu disampaikan Aly Yahya saat diskusi publik bertema serapan anggaran rendah, apa dampak dan resolusinya, yang digelar Fraksi Partai Gerindra DPRD Provinsi Banten di gedung serbaguna DPRD Provinsi Banten, Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Kecamatan Curug, Kota Serang, Selasa (8/8/2023).
Namun, Aly Yahya mempertanyakan apakah DPRD Provinsi Banten akan berani menggunakan hak interpelasi atau tidak. Menurutnya, jangan sampai DPRD Banten hanya mengeluh tetapi tidak melakukan tindakan nyata yang sebenarnya bisa dilakukan oleh lembaga legislatif tersebut, secara aturan. “Kita mendorong (DPRD Banten gunakan hak interpelasi), ” katanya.
Aly Yahya mengatakan, dalam perencanaan hingga pengawasan dan laporan APBD, DPRD wajib diiktsertakan oleh ekskeutif. Sebab peerintahan pada dasarnya tidak hanya eksektif melainkan juga legislatif atau DPRD. Karena itu, bila DPRD tidak diikutsertakan atau tidak didengar, maka DPRD harus berani menggunakan hak interpelasi atau hak mosi tidak percaya. “Kita dulu saja di DPR RI kita turunkan Gus Dur,” katanya.
Hanya masalahnya, apakah DPRD Banten berani menggunakan hak interpelasi itu. Aly Yahya pun mempertanyakan keberanian para anggota dewan yang terhormat tersebut.
“Tapi berani enggak DPRD (gunakan hak interpelasi)?” tanya Aly Yahya.
Ia juga mengatakan bahwa APBD adalah produk hukum berupa peraturan daerah (perda) yang disepakati oleh eksekutif dan legislatif. Bahkan, perda juga sudah disetujui oleh pemerintah pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri dan menjadi legal formal.
Karena itu, bila ada salah satu dari eksekutif dan legislatif yang tidak menaati perda atau tidak menjalankan penganggaran sebagaimana yang telat disepakati, maka merupakan sebuah pelanggaran terhadap perda. Karena itu, hal ini bisa diadukan ke pemerintah pusat, melalui interpelasi yang dilakukan oleh DPRD Provinsi Banten.
“Kita uji (keberanian) DPRD Banten. Jangan cuma ngeluh di luar, tapi dia enggak bisa melakukan action,” tuturnya.
Aly Yahya mengungkapkan, kepemimpinan Pj Gubernur Banten Al Muktabar memang sangat bebeda dengan Wahidin Halim (WH) yang menjabat sebagai Gubernur Banten devinitif. Dia menyebutkan, Wahidin Halim memiliki 51 prestasi selama kepemimpinannya.
Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Banten Muhammad Nizar ketika ditanya tentang tantangan yang diberikan oleh Aly Yahya tidak mau menjabab secara tegas apakah akan menggunakan hak interpelasi atau tidak. Dia mengatakan, karena ini berkaitan dengan kekuatan politik, dan kekuatan politik tentu perlu kajian dan strategi.
“Yang jelas, saya sebagai anggota dewan punya wadah untuk menyampaikan semua, termasuk di paripurna. Kalau sampai dengan ujungnya apa yang kita persoalkan terkait dengan kebijakan anggaran ini tidak berubah, maka ya ingat di dewan itu melekat hak-hak yang sudah diatur oleh undang-undang,” katanya.
Terkait hak menyatakan mosi tidak percaya kepada Pj Gubernur Banten, Nizar juga tidak menjawab secara gamblang. “Kalau memang kekuatan itu besar, saya ikut di dalamnya,” kata politisi Partai Gerindra ini.
Nizar mengatakan, APBD Provinsi Banten tahun anggaran 2023 hampir mencapai Rp12 triliun. Bila anggaran sebesar ini digunaka untuk membangun sejumlah fasilitas untuk masyarakat, maka hasilnya akan sangat luar biasa. Hanya sayang, hingga 31 Juli 2023 lalu belum ada satu pun kegiatan yang berjalan. “Satu pun kegiatan belum berjalan per 31 Juli,” katanya geram.
Sebelumnya, saat rapat komisi dengan mitra kerja, diketahui bahwa serapan anggaran sejumlah OPD masih berada di bawah rata-rata. Dua di antaranya adalah DPUPR Banten dan DPRKP Banten.
DPUPR Banten memiliki pagu anggaran sebesar Rp1,1 triliun. Namun, hingga 31 Juli serapan anggaran DPUPR Banten baru 16,65 persen atau hanya Rp184 miliar. Dari Rp184 miliar itu, Rp54 miliar di antaranya adalah belanja operasional. Sedangkan sisanya adalah belanja biaya rutin, program pemeliharaan, dan konsultan.
Untuk DPRKP Banten, pagu anggarannya sebesar Rp521 miliar. Namun, hingga 31 Juli serapan anggaran DPRKP Banten baru 2,38 persen atau sekitar Rp14 miliar. Itu pun mayoritas serapan anggaran didominasi oleh biaya operasional. “Hari ini Pemerintah Provinsi Banten tidak sedang baik-baik saja,” kata Nizar.
Nizar juga menyebutkan bahwa sisa lebih perhitungan anggaran atau Silpa di Provinsi Banten adalah silpa yang direncanakan. Hal ini didukung oleh adanya Surat Optimalisasi Anggaran yang pernah dikeluarkan oleh Pj Sekda Provinsi Banten yang saat itu dijabat oleh Tranggono pada Februari lalu.
Dalam surat itu, setiap OPD diminta untuk mengamankan sejumlah anggaran agar tidak dipergunakan. Nizar sendiri mengaku heran untuk apa uang-uang tersebut disisihkan dan tidak digunakan serta direncanakan menjadi Silpa.
Sementara itu, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Rina Dewiyanti saat dikonfirmasi wartawan sebelumnya, membantah jikalau dirinya pernah melarang OPD di Pemprov Banten untuk melaksanakan proyek yang sebelumnya masuk dalam refocusing atau optimalisasi.
Rina menjelaskan, pihaknya mempersilahkan OPD untuk menjalankan kegiatan atau proyek yang sudah dirancang sebelumnya dalam APBD 2023. Terlebih jika kegiatan tersebut memang sangat diperlukan. “Nggak, tidak ada sama sekali. Tidak ada (larangan secara lisan dari BPKAD untuk mengerjakan proyek),” kata Rina.
Ia menjelaskan, selama pekerjaan atau proyek tersebut ada di dalam APBD 2023, pihaknya mempersilahkan. “Yang terpenting dasarnya ada, sifatnya mendesak dan sesuai kemampuan keuangan daerah, maka dipersilahkan untuk dikerjakan. Bahkan saya meminta kepada seluruh OPD agar tetap fokus pada program 2023 yang sudah dirancang dan dibahas pada tahun 2022 lalu,” jelasnya.
Rina menuturkan, surat edaran yang disebarkan oleh Penjabat (Pj) Sekda Banten pada Februari lalu tidak menjadi dasar untuk melakukan penundaan belanja daerah. Menurutnya, surat edaran Pj Sekda Banten pada Februari yang lau bukan untuk menahan proyek-proyek atau kegiatan yang telah dibahas bersama antara DPRD, Pemprov dan hasil evaluasi dari Kemendagri, melainkan agar siklusnya terjaga dengan baik, sehingga kejadian gagal bayar tidak terjadi.
“Sebetulnya gini ya, kita akan melakukan perubahan. Surat Edaran itu tidak menjadi dasar kita untuk melakukan penundaan belanja. Penundaan belanja akan kita evaluasi pada perubahan APBD. Perubahan APBD ini melihat dari asumsi hasil evaluasi semester pertama. Setelah evaluasi semester pertama, kita juga melakukan evaluasi terhadap sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) 2022 kemarin,” katanya. (tohir)